Delapan warga negara Indonesia (WNI), termasuk artis Zaskia Adya Mecca, Ratna Galih, Indadari, dan Wanda Hamidah, bergabung dalam Global March to Gaza. Mereka tiba di Kairo, Mesir pada 12 Juni 2025 untuk bergabung dengan ribuan aktivis dari 50 negara dalam aksi jalan kaki menuju Gerbang Rafah.
Aksi ini bertujuan untuk menyerukan dibukanya akses misi kemanusiaan ke Gaza yang tengah mengalami krisis kemanusiaan yang parah. Perjalanan sejauh kurang lebih 50 kilometer dari Kairo menuju Gerbang Rafah ini dijadwalkan mencapai puncaknya pada 15 Juni 2025.
Perjalanan Menuju Gaza: Pengawasan Ketat dan Tantangan Politik
Sejak kedatangannya, rombongan WNI tersebut menghadapi pengawasan ketat dari pihak berwenang Mesir. Polisi dan intelijen memeriksa bus, hotel, ponsel, dan media sosial peserta.
Zaskia Adya Mecca, melalui unggahannya, menjelaskan bahwa mereka terdaftar sebagai peserta resmi di bawah kontingen Malaysia karena keterlambatan pendaftaran. Meskipun demikian, mereka tetap berkomitmen untuk berpartisipasi dalam aksi long march ini.
Meskipun panitia telah memberikan penjelasan yang detail mengenai risiko yang mungkin dihadapi, proses negosiasi dengan pemerintah Mesir berjalan alot. Situasi ini membuat perjalanan mereka semakin menantang.
Deportasi dan Penangkapan: Risiko Tinggi Aksi Perdamaian
Suasana di Kairo semakin menegangkan. Banyak peserta lain yang dideportasi. Zaskia Adya Mecca menyebutkan adanya aktivis yang ditangkap dan ditahan.
Rombongan Zaskia bersyukur karena proses imigrasi mereka berjalan lancar dan tidak langsung dideportasi. Namun, suasana di hotel tempat mereka menginap terasa mencekam dengan kehadiran polisi yang memeriksa paspor dan mengawasi mereka.
Situasi semakin sulit ketika panitia memberi tahu mereka bahwa peserta long march dianggap ilegal dan polisi berhak untuk menangkap mereka. Razia kembali terjadi di hotel mereka, dan beberapa turis dibawa oleh polisi.
Dukungan Keluarga dan Suara untuk Kemanusiaan
Hanung Bramantyo, suami Zaskia Adya Mecca, mengaku khawatir namun tetap mendukung partisipasi istrinya dalam aksi ini. Ia menekankan bahwa aksi ini bukan hanya soal agama, tetapi juga soal kemanusiaan.
Hanung juga memuji para perempuan yang ikut serta dalam aksi ini. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki pengaruh kuat di media sosial dan suara mereka dapat membuat perbedaan yang besar di tengah krisis kemanusiaan di Gaza.
Krisis kelaparan di Gaza menjadi fokus utama perhatian mereka. Mereka berharap dengan aksi ini, dunia internasional dapat lebih memperhatikan penderitaan warga Gaza, khususnya anak-anak, perempuan, dan orang tua yang kelaparan.
Meskipun dihadapkan pada situasi yang sulit dan penuh risiko, para WNI ini tetap teguh dalam komitmennya untuk menyuarakan suara kemanusiaan bagi warga Gaza. Keberanian mereka dalam menghadapi tantangan ini patut diapresiasi.
Perjuangan mereka untuk menyampaikan pesan perdamaian dan kemanusiaan ke dunia internasional patut menjadi inspirasi bagi kita semua untuk turut peduli terhadap isu-isu kemanusiaan global.
