Rencana penulisan ulang sejarah nasional di bawah Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) menuai kontroversi. Banyak pihak khawatir pelanggaran HAM berat di Indonesia, catatan kelam yang tak bisa diabaikan, akan diabaikan dalam versi sejarah terbaru ini.
Kekhawatiran ini muncul setelah pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang dinilai samar dan kurang komprehensif mengenai keterlibatan peristiwa pelanggaran HAM dalam buku sejarah baru. Hal ini memicu reaksi keras dari para sejarawan.
Kecemasan Sejarawan Terhadap Penulisan Ulang Sejarah
Sejarawan senior Asvi Warman Adam mengungkapkan pesimismenya terhadap upaya penulisan ulang sejarah nasional. Ia menilai pernyataan Menbud mengenai sejarah HAM yang disampaikan kurang memuaskan.
Asvi menganggap seharusnya Menbud secara tegas menyatakan bahwa semua peristiwa sejarah, termasuk pelanggaran HAM, akan dicatat. Proporsi pembahasannya bisa disesuaikan, namun bukan berarti diabaikan.
Kekecewaan Asvi semakin bertambah dengan penyangkalan Menbud terkait adanya perkosaan massal tahun 1998. Peristiwa ini, menurut Asvi, merupakan bagian penting sejarah Indonesia yang tak bisa dihapus begitu saja.
Ia menekankan pentingnya pengakuan dan pencatatan peristiwa tersebut sebagai pelajaran berharga bagi generasi mendatang. Menutup-nutupi fakta sejarah hanya akan menyakiti para korban dan menghambat proses penyembuhan bangsa.
Dampak Sejarah Tunggal Bagi Generasi Muda
Asvi menyatakan bahwa penyajian sejarah yang tunggal dan tidak objektif akan menyesatkan generasi muda. Mereka berhak mengetahui seluruh fakta sejarah Indonesia, termasuk sisi gelapnya.
Generasi muda perlu memahami peristiwa-peristiwa penting seperti pelanggaran HAM berat tahun 1965 dan 1968 untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.
Pandangan serupa disampaikan oleh sejarawan Asep Kambali. Ia menambahkan bahwa sejarah versi tunggal akan menghalangi perkembangan kemampuan berpikir kritis generasi muda.
Ketiadaan pemahaman sejarah yang komprehensif akan menyebabkan kehilangan kepekaan terhadap keberagaman narasi masa lalu dan rentan terhadap manipulasi dari pihak-pihak tertentu.
Sejarah Sebagai Cermin, Bukan Dogma
Asep Kambali menegaskan bahwa sejarah bukan untuk dipuja-puji, melainkan dipahami dan dipelajari sebagai cermin untuk masa depan. Pendekatan akademik yang jujur dan terbuka sangatlah krusial.
Sejarah yang disajikan secara tidak objektif justru akan berubah menjadi dogma yang membahayakan. Sejarah seharusnya menjadi benteng kesadaran, bukan tembok penjara ingatan.
Menutup-nutupi sejarah kelam, menurut Asep, bukannya membuat citra negara menjadi baik, justru akan membuat bangsa kehilangan arah dan mudah dimanipulasi.
Ia memperingatkan bahaya melupakan sejarah, karena hal itu bisa membuat suatu bangsa mudah dihancurkan. Merawat ingatan sejarah bangsa menjadi sangat penting untuk masa depan Indonesia.
Kesimpulannya, penulisan ulang sejarah nasional haruslah objektif, komprehensif, dan mencakup seluruh aspek masa lalu Indonesia, termasuk pelanggaran HAM berat. Hanya dengan demikian, generasi muda dapat belajar dari kesalahan masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik.
Sejarah yang jujur dan lengkap merupakan kunci bagi terciptanya masyarakat yang kritis, bijak, dan mampu menjaga kedaulatan bangsa.