Pembengkakan anggaran subsidi listrik di Indonesia menjadi sorotan tajam. Pemerintah memperkirakan anggaran subsidi listrik akan meningkat dari Rp 87,72 triliun menjadi Rp 90,32 triliun pada tahun 2025. Lonjakan ini memicu diskusi hangat mengenai perlunya reformasi struktural di sektor energi nasional. Ketergantungan pada energi fosil impor dan fluktuasi harga global menjadi faktor kunci yang perlu diatasi.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyoroti pentingnya reformasi ini. Beliau menekankan bahwa ketergantungan Indonesia pada bahan bakar fosil impor menciptakan kerentanan fiskal yang signifikan.
Kenaikan Anggaran Subsidi Listrik: Ancaman Fiskal dan Tantangan Energi
Kenaikan anggaran subsidi listrik hingga Rp 90,32 triliun pada tahun 2025 didorong oleh tiga faktor utama. Ketiga faktor tersebut adalah kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP), fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar AS, dan inflasi. Hal ini menunjukkan kompleksitas masalah yang dihadapi pemerintah dalam menjaga stabilitas harga energi.
Kenaikan subsidi listrik ini bukan fenomena baru. Anggaran subsidi telah meningkat secara signifikan dari Rp 48 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 50 triliun pada tahun 2021. Hingga Mei 2025, realisasi pembayaran subsidi listrik telah mencapai Rp 35 triliun. Tren kenaikan ini menunjukkan perlunya strategi jangka panjang yang efektif dan efisien.
Reformasi Penyaluran Subsidi dan Pemanfaatan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)
Nailul Huda menyarankan reformasi penyaluran subsidi listrik sebagai solusi jangka pendek. Hal ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk memangkas subsidi bagi kelompok masyarakat mampu.
Dengan demikian, pemerintah dapat mengalihkan anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk subsidi yang tidak tepat sasaran. Dana tersebut kemudian bisa digunakan untuk program elektrifikasi desa dan mendorong pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Langkah ini dinilai penting untuk menciptakan keadilan dan efisiensi dalam penggunaan anggaran negara.
Transisi Energi: Keharusan untuk Ketahanan Fiskal dan Lingkungan
Huda juga menyoroti keterlambatan pemerintah dalam melakukan transisi energi. Percepatan pelaksanaan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) hijau bukan hanya sekedar agenda lingkungan, tetapi juga strategi fiskal yang krusial.
Peningkatan bauran energi terbarukan (EBT) hingga 30 persen dalam lima hingga enam tahun ke depan, diyakini dapat meningkatkan ketahanan rupiah dan mengurangi beban anggaran subsidi. Sinergi antara subsidi tepat sasaran dan transisi energi yang agresif menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan ini. Tanpa percepatan transisi energi, ancaman pembengkakan anggaran subsidi listrik akan terus membayangi keuangan negara.
Dengan demikian, pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi masalah ini. Reformasi struktural sektor energi, meliputi perbaikan penyaluran subsidi dan percepatan transisi energi, menjadi kunci untuk menciptakan ketahanan fiskal dan keberlanjutan energi di Indonesia. Hanya dengan strategi komprehensif, pemerintah dapat memastikan akses energi yang terjangkau dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat.