Cost recovery adalah istilah krusial dalam industri hulu migas. Sistem ini mengatur penggantian biaya produksi yang dikeluarkan oleh kontraktor bagi hasil. Pemahaman mendalam tentang cost recovery penting bagi siapa pun yang tertarik dengan dinamika industri energi Indonesia.
Lalu, Apa Cost Recovery dalam Industri Hulu Migas?
Cost recovery, menurut buku saku Kementerian ESDM, merupakan mekanisme penggantian biaya produksi. Biaya tersebut mencakup eksplorasi, pengembangan lapangan, dan operasi.
Regulasi terkait cost recovery tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010. Aturan ini menjelaskan bahwa kontraktor berhak mendapatkan kembali biaya operasional sesuai rencana kerja dan anggaran yang disetujui, setelah wilayah kerja menghasilkan produksi komersial. Status produksi komersial sendiri ditetapkan melalui persetujuan Menteri atas rencana pengembangan lapangan.
Jika wilayah kerja tidak menghasilkan produksi komersial, seluruh biaya operasi menjadi risiko dan beban kontraktor. Ini menekankan risiko investasi dalam eksplorasi dan produksi migas.
Persoalan Cost Recovery
Penerapan cost recovery sering menimbulkan perdebatan. Salah satu kritik muncul dari Ignasius Jonan, mantan Menteri ESDM.
Jonan menyoroti perdebatan mengenai biaya yang dapat diganti negara melalui cost recovery. Ia mencontohkan kasus Chevron di Riau, di mana meskipun bagi hasil negara mencapai 90%, besarnya cost recovery yang diklaim kontraktor seringkali menjadi perdebatan.
Beban cost recovery yang membengkak kerap kali mengakibatkan berkurangnya jatah minyak negara. Ketidakefisienan operasional seringkali menjadi penyebab pembengkakan biaya tersebut.
Skema Pengganti Gross Split
Skema gross split diperkenalkan sebagai alternatif cost recovery. Sistem ini dianggap lebih ringkas dan menguntungkan negara.
Gross split menghindari perdebatan panjang mengenai biaya yang dapat dibebankan kepada negara. Potensi keuntungan bagi hasil negara juga dinilai lebih besar dengan skema ini.
Beberapa negara lain telah menerapkan gross split dan menganggapnya lebih menguntungkan. Penerimaan negara menjadi lebih pasti karena bagi hasil dilakukan di awal tanpa pengurangan biaya cost recovery.
Skema Bisnis Hulu Migas Kini Fleksibel
Namun, fleksibilitas diberikan kepada investor untuk memilih antara gross split atau cost recovery. Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2020 memberikan keleluasaan ini.
Saat ini, Kementerian ESDM berencana merevisi aturan kontrak bisnis hulu migas gross split menjadi “new simplified gross split”. Revisi ini bertujuan untuk mengakomodasi pengembangan migas non-konvensional (MNK).
Pengembangan MNK memiliki karakteristik berbeda dengan migas konvensional. Investasi awal MNK relatif kecil, namun meningkat signifikan seiring waktu. Sistem cost recovery dinilai kurang efisien untuk pengembangan MNK karena proses persetujuan yang panjang.
Revisi aturan juga bertujuan menyederhanakan ketentuan gross split yang lama. Gross split tetap akan dipertahankan sebagai salah satu skema kontrak, namun dengan penyederhanaan untuk meningkatkan efisiensi dan mendukung pengembangan MNK.
Sistem cost recovery dan gross split memiliki peran penting dalam industri hulu migas Indonesia. Perkembangan terbaru menunjukkan komitmen pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang lebih fleksibel dan efisien, khususnya untuk mendukung pengembangan energi masa depan. Proses revisi aturan yang berkelanjutan menunjukkan upaya adaptasi terhadap tantangan dan peluang baru dalam industri migas.