Protes sopir truk terhadap kebijakan Zero Over Dimension Over Loading (ODOL) kian meluas. Awalnya terpusat di Surabaya, gelombang demonstrasi kini menjalar ke berbagai kota di Jawa, termasuk Banyumas dan Jepara. Ketidakpuasan ini didasari sejumlah alasan mendasar yang disampaikan para pengemudi. Apa saja tuntutan mereka dan bagaimana respons pemerintah?
Para demonstran menilai kebijakan Zero ODOL, khususnya Pasal 277, salah sasaran. Mereka merasa pasal tersebut lebih berfokus pada perubahan fisik kendaraan, bukan kelebihan muatan. Akibatnya, sopir sering menjadi pihak yang disalahkan dan dihukum, sementara pemilik barang luput dari sanksi.
Pasal 277: Salahkan Sopir, Bukan Pemilik Barang
Gerakan Sopir Jawa Timur (GSJT) menurunkan ratusan truk di Surabaya pada 19 Juni 2025 sebagai bentuk protes. Aksi ini bermula di depan City of Tomorrow Mall, kemudian berlanjut ke kantor Dinas Perhubungan dan Polda Jatim.
Ketua GSJT, Angga Firdiansyah, menyatakan Pasal 277 UU Nomor 22 Tahun 2009 merugikan sopir. Aturan tersebut dinilai hanya mempersulit pengemudi tanpa menindak tegas pemilik barang yang kerap meminta muatan berlebih.
Angga menekankan bahwa dampak langsung dari aturan ini sepenuhnya ditanggung para sopir. Sementara itu, pengusaha atau penyedia muatan terbebas dari sanksi. Hal ini dinilai sangat tidak adil.
Tarif Logistik Tak Masuk Akal dan Pungli Jalanan
Selain masalah Pasal 277, sopir juga mengeluhkan tarif logistik yang tidak masuk akal. Mereka sering dipaksa menerima upah minim meskipun membawa muatan berat.
Angga menjelaskan bahwa pemilik barang sering seenaknya menentukan ongkos kirim, tanpa mempertimbangkan beban kerja dan risiko yang ditanggung sopir. Kondisi ini membuat sopir mudah melanggar aturan ODOL karena tekanan ekonomi.
Selain itu, masalah premanisme dan pungli di jalanan juga menjadi sorotan. Para sopir meminta pemerintah untuk menertibkan praktik-praktik ilegal ini yang semakin memberatkan mereka.
Angga menambahkan bahwa pungli tak hanya dilakukan oleh preman, tetapi juga oknum aparat. Kasus serupa terjadi di berbagai daerah, tidak hanya Jawa Timur.
Penegakan Hukum yang Tebang Pilih
Penegakan hukum terhadap pelanggaran ODOL juga dianggap tebang pilih. Sopir kecil kerap menjadi sasaran razia, sementara armada perusahaan besar dibiarkan beroperasi tanpa hambatan.
Angga mencontohkan, perusahaan besar dengan muatan jauh lebih banyak seringkali lolos dari pengawasan. Perlakuan yang tidak adil ini semakin memperparah kemarahan para sopir.
Demo Meluas ke Banyumas dan Jepara: Ancaman Mogok Nasional
Di Banyumas, Jawa Tengah, sekitar 1.000 sopir melakukan aksi serupa dengan memblokir jalan dan berorasi. Mereka merasa kebijakan Zero ODOL memberatkan para sopir.
Koordinator lapangan, Imam Santoso, mengungkapkan dilema yang dihadapi sopir: ingin taat aturan, tetapi seringkali mendapat tekanan dari pemilik barang untuk membawa muatan penuh. Mereka mengancam mogok nasional jika tuntutannya tak dipenuhi.
Aksi serupa juga terjadi di Jepara, dengan sopir dan pengusaha logistik melakukan mogok hingga 21 Juni 2025. Gelombang protes ini menunjukkan meluasnya ketidakpuasan terhadap kebijakan Zero ODOL.
Respons Pemerintah dan Potensi Dampak
Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, berjanji menjembatani aspirasi para sopir dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat terkait tarif dan sosialisasi aturan. Pemerintah menargetkan penerapan penuh Zero ODOL pada 2026.
Namun, tanpa skema tarif logistik yang adil dan penegakan hukum yang merata, ancaman mogok nasional dan kelangkaan barang di jalur utama Jawa semakin nyata. Dialog yang cepat dan komprehensif antara pemerintah dan para sopir sangat dibutuhkan untuk mencegah dampak negatif yang lebih luas.
Ketidakpuasan para sopir truk atas kebijakan Zero ODOL menunjukkan pentingnya memperhatikan aspek sosial dan ekonomi dalam penerapan aturan. Pemerintah perlu mempertimbangkan solusi yang lebih holistik dan adil, bukan hanya fokus pada penegakan aturan tanpa mempertimbangkan kesulitan yang dihadapi para pengemudi.