Pemerintah berencana menguji coba pengurangan luas rumah subsidi menjadi hanya 18 meter persegi. Rencana ini menuai beragam reaksi dari masyarakat, banyak yang mempertanyakan kelayakan hunian seluas itu untuk keluarga.
Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), John Wempi Wetipo, menyatakan rencana tersebut masih dalam tahap uji coba. Namun, kekhawatiran telah muncul di kalangan calon pembeli rumah pertama, terutama generasi muda.
Kekhawatiran Generasi Muda Terhadap Rumah Subsidi 18 Meter Persegi
Banyak yang menilai rumah dengan luas sangat terbatas akan menurunkan kualitas hidup. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip hunian layak yang selama ini dikampanyekan pemerintah.
Seorang warganet bernama Choi berkomentar di media sosial Liputan6.com, menyebut ukuran tersebut hanya cukup untuk satu kamar tidur dan kamar mandi. Ia lebih tepat disebut sebagai “kost subsidi”.
Karyawan Muda Menolak: Prioritas Kenyamanan dan Fungsionalitas
Heri, seorang karyawan berusia 30 tahun di Jakarta, menolak rencana tersebut. Ia berpendapat rumah adalah tempat beristirahat dan membangun keluarga, bukan sekadar tempat berteduh.
Ukuran rumah sangat menentukan kenyamanan dan fungsionalitas. Rumah yang terlalu sempit akan menyulitkan penataan ruangan, sirkulasi udara, dan ventilasi, terutama jika ditinggali keluarga kecil.
Heri menekankan perlunya ruang memadai untuk aktivitas berbeda, seperti bekerja, beristirahat, dan berinteraksi dengan anak. Ia menginginkan ruangan kerja terpisah dari kamar tidur dan ruang bermain anak.
Ruang Terbuka yang Tak Kalah Penting
Selain interior, Heri juga menyoroti pentingnya halaman depan yang cukup luas. Ruang terbuka ini bukan hanya estetika, tetapi juga penting untuk parkir kendaraan.
Ia khawatir, dengan ukuran rumah yang menyusut, ruang terbuka tersebut akan dihilangkan. Keterbatasan ruang akan menghambat kualitas hidup, terutama di kawasan padat penduduk.
Heri berharap pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan ini. Rumah subsidi seharusnya solusi, bukan beban tambahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Ukuran Layak Huni Bukanlah Kemewahan
Kontroversi rumah subsidi 18 meter persegi bukan hanya soal preferensi, tetapi juga definisi “layak huni”. Bagi masyarakat, ukuran layak bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar.
Ruang yang cukup mendukung keberlangsungan hidup keluarga, dari segi kesehatan, psikologis, dan produktivitas. Wacana penyempitan mengaburkan makna keadilan sosial dalam program subsidi.
Beberapa warganet menyebutnya “rumah cilik” atau kost terselubung. Hal ini mencerminkan keprihatinan atas penurunan standar hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Seorang pengguna media sosial bernama Dwi menulis singkat, “Cilik,” yang menyiratkan rumah subsidi yang terlalu kecil tak akan memenuhi harapan masyarakat.
Perdebatan mengenai ukuran ideal rumah subsidi masih terus berlanjut. Pemerintah perlu mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan memastikan program subsidi tetap selaras dengan prinsip keadilan sosial dan penyediaan hunian layak. Bukan hanya sekedar atap, namun juga ruang untuk hidup yang nyaman dan bermartabat.