Pemerintah mengusulkan revisi aturan rumah subsidi, dengan ukuran bangunan inti 18 meter persegi di lahan 25 meter persegi. Usulan ini memicu beragam reaksi, antara dukungan untuk memenuhi kebutuhan generasi muda di perkotaan, dan kekhawatiran soal standar kelayakan hunian. Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Sri Haryati, menekankan pentingnya kajian mendalam sebelum implementasi.
Kajian tersebut melibatkan BP Tapera, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu, dan beberapa pengembang. Keputusan ini dinilai sebagai terobosan untuk mengatasi backlog rumah nasional yang mencapai 9,9 juta unit.
Usulan Rumah Subsidi Minimalis: Antara Kebutuhan dan Kelayakan
Sri Haryati menyatakan perlunya kehati-hatian dalam menerapkan kebijakan ini. Banyak aspek regulasi yang perlu dipertimbangkan sebelum aturan baru diterapkan. Desain rumah subsidi minimalis tetap merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku, termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-X/2012 yang mencabut ketentuan minimal 36 meter persegi luas bangunan rumah.
Pemerintah beralasan bahwa revisi ini membuka peluang untuk merancang rumah subsidi yang lebih terjangkau. Hal ini diharapkan dapat mengatasi kendala pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Bantahan James Riady dan Permintaan Pemerintah
CEO Lippo Group, James Riady, membantah telah mengusulkan perubahan batas minimal rumah subsidi. Ia menjelaskan bahwa usulan tersebut justru berasal dari pemerintah yang mencari opsi hunian lebih terjangkau.
Pemerintah menginginkan adanya pilihan rumah subsidi dengan ukuran lebih kecil. Tujuannya adalah untuk menyediakan pilihan hunian yang lebih terjangkau bagi masyarakat.
Rekomendasi BP Tapera dan Solusi Perumahan di Perkotaan
BP Tapera merekomendasikan agar luas lahan minimal untuk rumah subsidi tetap 30 meter persegi. Heru, dari BP Tapera, berpendapat tipe 18/30 sudah memenuhi standar teknis bagi MBR, terutama yang belum berkeluarga.
Namun, penting juga mempertimbangkan ruang untuk pertumbuhan di masa depan. Rumah kecil di lokasi strategis dapat menjadi solusi bagi generasi muda yang mencari hunian pertama di kota.
Sri Haryati menambahkan bahwa skema rumah minimalis di perkotaan merupakan inovasi untuk memberikan alternatif bagi MBR. Masyarakat bisa memilih rumah subsidi standar di pinggiran atau rumah kecil di pusat kota.
Pemerintah berkomitmen untuk menyediakan hunian layak secara adil, cepat, dan realistis. Inisiatif ini merupakan upaya untuk mengurangi backlog rumah nasional, terutama di perkotaan.
Usulan rumah subsidi minimalis ini menyoroti dilema antara pemenuhan kebutuhan hunian terjangkau dan standar kelayakan. Perdebatan ini menunjukkan kompleksitas dalam menyediakan solusi perumahan yang efektif dan berkelanjutan bagi masyarakat Indonesia. Ke depannya, diperlukan keseimbangan antara inovasi, regulasi yang tepat, dan pertimbangan aspek sosial untuk memastikan program rumah subsidi benar-benar bermanfaat bagi MBR.