Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mendesak pemerintah Indonesia untuk segera memenuhi lima tuntutan terkait penolakan aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil. Koordinator Nasional JATAM, Melky Nahar, menyatakan keprihatinannya atas respons pemerintah yang dinilai hanya berupa klarifikasi dan tindakan simbolis seperti penyegelan dan moratorium tanpa tindak lanjut yang konkrit.
Melky menegaskan bahwa tuntutan JATAM ini sangat mendesak dan perlu dipenuhi segera untuk melindungi lingkungan dan masyarakat di pulau-pulau kecil yang rawan terhadap dampak pertambangan.
Lima Tuntutan JATAM untuk Menyelamatkan Pulau Kecil
JATAM mengajukan lima tuntutan utama kepada pemerintah. Tuntutan ini dinilai krusial untuk mencegah kerusakan lingkungan dan melindungi hak-hak masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil.
Pertama, JATAM meminta pencabutan seluruh regulasi yang mengizinkan aktivitas pertambangan di pulau kecil, termasuk UU Minerba dan turunannya. Regulasi ini dinilai kontraproduktif dengan upaya pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Kedua, JATAM mendesak pemerintah untuk menciptakan payung hukum yang kuat dan komprehensif untuk melindungi pulau-pulau kecil dari eksploitasi. Perlindungan ini harus mencakup aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Ketiga, semua rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang mengakomodasi kepentingan pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil harus dihapus. RTRW yang pro-tambang dinilai mengancam kelestarian lingkungan dan kehidupan masyarakat.
Keempat, JATAM menuntut penghentian, evaluasi, audit, dan pencabutan seluruh izin tambang di pulau-pulau kecil yang sudah beroperasi. Proses ini harus transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat.
Kelima, pemerintah diminta untuk menghentikan penerbitan izin tambang baru di pulau-pulau kecil di Indonesia. Penerbitan izin baru dianggap memperparah kerusakan lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat.
Kasus Pulau Gag: Izin Tambang Melebihi Luas Pulau
Melky Nahar mencontohkan kasus pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, sebagai contoh nyata dampak buruk pertambangan di pulau kecil. PT Gag Nikel mendapatkan izin menambang seluas 13.136 hektare hingga 2047.
Luas izin tersebut lebih dari dua kali lipat luas Pulau Gag yang hanya 6.500 hektare, dengan 6.034,42 hektare di antaranya berstatus hutan lindung. Hal ini menunjukkan betapa besarnya kawasan yang dieksploitasi.
UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) secara jelas melarang pertambangan di pulau kecil. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 juga memperkuat larangan tersebut.
Ancaman Pertambangan Terhadap Pulau-Pulau Kecil
Pulau Gag hanyalah satu dari 35 pulau kecil di Indonesia yang saat ini terdampak aktivitas pertambangan. Ironisnya, semua aktivitas ini dilegalkan oleh pemerintah atas nama pembangunan.
Tercatat ada 195 izin pertambangan dengan total konsesi seluas 351.933 hektare yang mencaplok 35 pulau kecil di Indonesia. Kegiatan pertambangan ini menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat.
Pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Hutan di pulau kecil berfungsi sebagai benteng pertahanan alami, menjaga iklim mikro, ketersediaan air, sumber pangan, dan melindungi dari bencana alam seperti abrasi dan tsunami.
Pertambangan mengancam kelangsungan hidup masyarakat dan keanekaragaman hayati di pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, JATAM mendesak pemerintah untuk serius menangani masalah ini dan menjalankan amanat hukum yang ada untuk melindungi pulau-pulau kecil.
Semoga tuntutan JATAM ini mendapat perhatian serius dari pemerintah. Perlindungan pulau-pulau kecil bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal keberlangsungan hidup dan kelestarian lingkungan untuk generasi mendatang. Penerapan hukum dan regulasi yang tegas sangat diperlukan untuk mencegah eksploitasi lebih lanjut dan memastikan kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau kecil.