Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, mendesak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, untuk segera mengevaluasi seluruh izin konsesi pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Tindakan ini dinilai penting untuk mencegah kerusakan lingkungan yang semakin parah di kawasan tersebut.
Desakan ini muncul setelah munculnya kontroversi terkait penindakan terhadap salah satu perusahaan tambang nikel di Raja Ampat. Evita mempertanyakan mengapa hanya satu perusahaan yang ditindak sementara perusahaan lain yang juga melakukan pelanggaran dibiarkan beroperasi.
Pengawasan Ketat Izin Tambang di Raja Ampat
Evita menekankan pentingnya ketegasan dalam menangani keberadaan tambang nikel di pulau-pulau kecil Raja Ampat. Ia meminta agar semua tambang yang merusak ekosistem segera ditutup tanpa terkecuali.
Beberapa pulau yang menjadi lokasi pertambangan nikel, seperti Pulau Kawe, Pulau Manuran, dan Pulau Batangpele, terletak di kawasan Geopark Raja Ampat dan juga termasuk dalam Kawasan Pengembangan Pariwisata Waigeo. Aktivitas pertambangan di lokasi-lokasi ini dinilai jelas melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ancaman Pertambangan terhadap Pariwisata dan Konservasi Raja Ampat
Geopark Raja Ampat, yang telah diakui UNESCO pada tahun 2023, memiliki luas sekitar 36.660 km². Kawasan ini merupakan jantung Coral Triangle, kaya akan keanekaragaman hayati laut yang luar biasa.
Keberadaan tambang nikel di kawasan ini dianggap mengancam kelestarian ekosistem laut dan terumbu karang yang menjadi daya tarik utama pariwisata Raja Ampat. Hal ini bertolak belakang dengan rencana pengembangan pariwisata berkelanjutan yang telah ditetapkan.
Komisi VII DPR RI telah melakukan pertemuan dengan Gubernur Papua Barat Daya dan para Bupati, termasuk Bupati Raja Ampat serta masyarakat setempat. Pertemuan tersebut bertujuan untuk menyerap aspirasi daerah terkait pariwisata, terutama setelah penetapan Raja Ampat sebagai Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) melalui Perpres No. 87 Tahun 2024.
Peran Pemerintah Daerah dan Partisipasi Publik
Komisi VII DPR RI juga mencatat keresahan pemerintah daerah yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pemberian izin tambang. Perusahaan tambang juga dinilai tidak pernah berkomunikasi dengan pemerintah daerah.
Hal ini menimbulkan berbagai isu hukum, lingkungan, dan tata kelola pemerintahan yang buruk. Banyak kepala daerah yang meminta agar pemerintah daerah dilibatkan sejak awal dalam proses perizinan tambang.
Ketidakhadiran pemerintah daerah dalam proses perizinan dinilai berpotensi meningkatkan kerusakan lingkungan, menyebabkan ketimpangan dalam penerimaan daerah, dan bahkan memicu konflik sosial. Oleh karena itu, Komisi VII DPR RI merekomendasikan revisi regulasi teknis agar pemerintah daerah diikutsertakan dalam evaluasi izin dan meningkatkan mekanisme konsultasi publik sebelum izin diberikan.
Kesimpulannya, permasalahan pertambangan di Raja Ampat memerlukan solusi komprehensif yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan dunia usaha. Keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan harus diutamakan untuk memastikan keberlanjutan pembangunan di Raja Ampat.
Ke depan, transparansi dan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan terkait pertambangan di kawasan sensitif seperti Raja Ampat sangatlah krusial untuk mencegah konflik dan kerusakan lingkungan yang lebih besar.