Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia), lembaga investasi bentukan Presiden Prabowo Subianto, sejak awal diharapkan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Targetnya, mendanai proyek-proyek strategis yang menjanjikan keuntungan besar bagi negara.
Namun, beberapa keputusan Danantara belakangan ini menimbulkan pertanyaan. Terutama terkait alokasi dana kepada perusahaan-perusahaan yang masih merugi, memicu kontroversi dan menimbulkan keraguan publik terhadap efektivitas lembaga tersebut.
Pinjaman Miliaran Rupiah untuk Garuda Indonesia dan Chandra Asri: Sebuah Strategi Berisiko?
Salah satu keputusan yang paling disorot adalah pemberian pinjaman pemegang saham (shareholder loan) senilai Rp6,65 triliun kepada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA). Dana ini merupakan bagian dari total dukungan pendanaan sebesar US$1 miliar (sekitar Rp16,3 triliun).
Selain Garuda, Danantara bersama Indonesia Investment Authority (INA) juga menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) senilai US$800 juta dengan PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA), perusahaan milik pengusaha Prajogo Pangestu.
Yang menjadi sorotan utama adalah kondisi keuangan kedua perusahaan tersebut. Baik GIAA maupun TPIA masih mencatatkan kerugian signifikan. GIAA merugi Rp1,2 triliun pada kuartal I 2025, sementara TPIA merugi US$23,6 juta (Rp382 miliar) pada periode yang sama.
Daftar Panjang Perusahaan Rugi yang Masuk Radar Investasi Danantara
Data yang dihimpun menunjukkan, Danantara tampaknya memiliki minat investasi pada sejumlah perusahaan BUMN yang sedang mengalami kesulitan keuangan.
Selain Garuda dan Chandra Asri, beberapa emiten lain yang tercatat merugi dan berpotensi menerima investasi dari Danantara antara lain PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) dengan kerugian Rp4,6 triliun, PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) yang merugi Rp2,8 triliun, dan PT Kimia Farma Tbk (KAEF) dengan kerugian Rp1,7 triliun.
Potensi Moral Hazard dan Keraguan terhadap Efektivitas Danantara
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengungkapkan kekhawatirannya terkait potensi moral hazard akibat suntikan dana kepada perusahaan-perusahaan yang merugi.
Bhima mempertanyakan alokasi dana dividen BUMN yang seharusnya diinvestasikan pada proyek-proyek menguntungkan, namun justru digunakan untuk membantu perusahaan pelat merah yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Hal ini dinilai kurang efektif dan efisien dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ia juga menyoroti risiko investasi pada Garuda Indonesia yang memiliki masalah keuangan jangka panjang. Suntikan dana besar tanpa jaminan perbaikan fundamental perusahaan berpotensi meningkatkan moral hazard.
Bhima juga mempertanyakan perhitungan Return on Investment (ROI) jika dana hanya digunakan untuk restrukturisasi keuangan BUMN bermasalah. Danantara, menurutnya, seharusnya fokus pada proyek-proyek dengan kelayakan finansial yang jelas dan potensi keuntungan tinggi.
Kekhawatiran Bhima berkaitan dengan terkurasnya sumber daya Danantara untuk konsolidasi BUMN yang bermasalah. Hal ini dapat mengurangi efektivitas dan efisiensi Danantara dalam menjalankan perannya sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi.
Ekspektasi investor swasta, baik domestik maupun asing, yang berharap Danantara mendanai proyek-proyek yang berpotensi menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, bisa saja pupus jika fokus utamanya beralih pada penyelamatan BUMN yang merugi.
Secara keseluruhan, keputusan Danantara untuk menginvestasikan dana pada perusahaan-perusahaan yang merugi menimbulkan pertanyaan besar tentang strategi dan efektivitas lembaga ini dalam mencapai tujuan awalnya sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Transparansi dan perhitungan risiko yang matang sangat dibutuhkan agar kepercayaan publik terhadap Danantara tetap terjaga.