Ghosting: Memahami Arti, Dampak, dan Penyebab Hilangnya Kontak Tanpa Penjelasan
Istilah “ghosting” kini semakin akrab di telinga, terutama dalam konteks hubungan percintaan di era modern yang banyak bermula dari aplikasi kencan. Namun, apa sebenarnya arti dari perilaku ini dan bagaimana dampaknya bagi mereka yang mengalaminya? Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena ghosting, dari definisi hingga solusi menghadapinya.
Apa Itu Ghosting?
Ghosting adalah cara mengakhiri hubungan tanpa memberikan penjelasan atau komunikasi yang memadai. Seseorang yang melakukan ghosting, yang disebut “ghoster”, tiba-tiba menghilang tanpa jejak, seakan-akan menjadi hantu. Perilaku ini sering dianggap sebagai penolakan tanpa penutupan (closure) yang dapat meninggalkan luka emosional bagi pihak yang ditinggalkan. Tujuannya seringkali agar orang yang ditinggalkan menyadari sendiri bahwa hubungan telah berakhir.
Ghosting dapat terjadi dalam berbagai konteks, tidak hanya pada hubungan romantis. Teman, anggota keluarga, atau bahkan kolega kerja juga dapat menjadi korban ghosting.
Tidak ada patokan jenis kelamin spesifik untuk pelaku ghosting. Siapapun dapat melakukannya.
Dampak Psikologis Ghosting
Dampak ghosting bagi pihak yang ditinggalkan dapat sangat signifikan. Ketidakpastian yang muncul akibat hilangnya kontak mendadak dapat memicu kecemasan, depresi, dan rasa tidak percaya diri. Merasa diabaikan dan tidak dihargai secara mendalam dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang. Semakin dalam keterikatan emosional dan semakin lama waktu yang dihabiskan bersama, dampaknya pun akan semakin besar.
Kehilangan rasa percaya diri dan keraguan pada diri sendiri seringkali dialami korban ghosting.
Rasa bingung dan bertanya-tanya atas penyebab ghosting sangat umum.
Hilangnya rasa percaya diri dapat berdampak pada hubungan selanjutnya.
Psikolog klinis Carla Marie Manly, PhD, menekankan bahwa ghosting meninggalkan celah untuk menebak-nebak, menimbulkan harapan palsu bahwa hubungan masih bisa diperbaiki.
Penyebab Seseorang Melakukan Ghosting
Berbagai faktor dapat mendorong seseorang untuk melakukan ghosting. Sebuah survei oleh aplikasi kencan Elate pada September 2020 mengungkapkan beberapa alasan utama. Sebanyak 43 persen responden mengaku menghindari konflik atau kejanggalan saat menyatakan tidak tertarik. 37 persen lainnya berhenti karena tidak menyukai ucapan atau perilaku lawan bicara.
Keengganan untuk menghadapi konfrontasi juga menjadi penyebab utama ghosting.
Kurangnya kemampuan berkomunikasi yang efektif juga berkontribusi terhadap ghosting.
Alasan lain yang cukup umum adalah kesibukan yang berlebihan hingga merasa terlambat untuk memberi penjelasan.
Meskipun ghosting terlihat sebagai cara mudah untuk menghindari konfrontasi bagi si ghoster, dampaknya dapat jauh lebih serius bagi pihak yang ditinggalkan.
Pada akhirnya, ghosting seringkali mencerminkan kurangnya kedewasaan emosional dan kemampuan komunikasi yang efektif dari pelaku.
Meskipun ghosting sering dikaitkan dengan hubungan online, perilaku ini juga bisa terjadi dalam hubungan offline.
Ghosting merupakan perilaku yang menunjukkan kurangnya tanggung jawab dan empati. Meskipun mungkin terlihat sebagai jalan keluar yang mudah bagi pelaku, dampaknya yang negatif bagi pihak yang ditinggalkan tidak boleh diabaikan. Penting untuk memahami bahwa komunikasi yang jujur dan terbuka, meskipun sulit, tetap menjadi cara yang lebih baik dan bertanggung jawab untuk mengakhiri sebuah hubungan. Semoga artikel ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang fenomena ghosting dan dampaknya.