Ketegangan perdagangan global yang sempat meningkat beberapa waktu lalu, kini menunjukkan tanda-tanda mereda. Hal ini terutama terlihat dalam hubungan Amerika Serikat (AS) dan China. Sentimen pasar pun membaik, bergeser dari sikap reaktif dan pesimistis menjadi lebih optimistis, meskipun kewaspadaan terhadap dinamika global tetap diperlukan. Kemajuan dalam negosiasi tarif antara AS dan beberapa negara mitra dagangnya turut menopang sentimen positif ini.
Negosiasi AS-Inggris telah mencapai kesepakatan, sementara negosiasi dengan Uni Eropa diperpanjang selama 90 hari. Khususnya, terdapat itikad baik yang terlihat jelas antara AS dan China untuk melanjutkan negosiasi, yang menjadi sorotan utama pelaku pasar. Namun, pasar belum sepenuhnya lega karena kebijakan AS yang dinilai masih mudah berubah. Laras Febriany, Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), mengungkapkan bahwa meskipun tarif nantinya bersifat final, tarif dasar universal 10% tetap berlaku dan akan berdampak pada perdagangan serta pertumbuhan global.
Dari “US Exceptionalism” ke “Sell America”
Fenomena “US exceptionalism” yang dulunya dominan, kini bergeser ke tren “Sell America”. Ini bukan berarti investor sepenuhnya menarik diri dari pasar AS. Namun, preferensi jangka panjang terhadap kawasan lain semakin menguat, bukan hanya sebagai keputusan taktikal. Beberapa faktor yang menyebabkan penurunan daya tarik AS antara lain pelemahan ekonomi akibat tarif, ketidakpastian kebijakan Presiden Donald Trump, serta kekhawatiran fiskal yang tercermin dari penurunan peringkat utang oleh Moody’s. Tensi geopolitik juga membuat investor lebih selektif dalam eksposur mereka ke AS.
Tren “Sell America” ini lebih mencerminkan pengalihan alokasi investasi yang bertahap dan strategis, bukan pelarian besar-besaran. Asia menjadi kawasan yang diuntungkan dari rotasi portofolio global ini.
Asia: Daya Tarik dari Kombinasi Kekuatan Domestik dan Teknologi
Asia memiliki potensi kuat untuk menyerap aliran dana yang keluar dari AS. Kawasan ini menawarkan lanskap investasi unik, memadukan kekuatan domestik dengan koneksi kuat pada rantai pasok teknologi global. Sektor-sektor seperti teknologi perangkat keras, energi terbarukan, rantai pasok kendaraan listrik (EV), layanan IT, otomasi robotik, kecerdasan buatan (AI), serta sektor konsumsi dan farmasi menjadi sub-tema investasi yang menarik. Diversifikasi sektor ini memberikan daya tarik jangka panjang bagi investor global.
Asia merupakan kombinasi dari kemandirian domestik (“domestic self-sufficiency”) dan rantai pasok teknologi global (“global tech supply chain”). Struktur pertumbuhannya juga lebih beragam dan tidak bergantung pada satu faktor ekonomi saja.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Stagnan di Kuartal Pertama, Harapan di Kuartal Kedua
Indonesia menghadapi tantangan pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama tahun ini. Konsumsi rumah tangga yang belum pulih sepenuhnya pasca pandemi dan kontraksi belanja pemerintah akibat realokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi penyebab utama stagnasi. Namun, di kuartal kedua, proses realokasi APBN telah selesai.
Diharapkan akselerasi belanja pemerintah, stimulus lanjutan, dan stabilitas Rupiah akan berdampak positif terhadap konsumsi dan pertumbuhan ekonomi. Penurunan suku bunga acuan juga menjadi sinyal pelonggaran moneter untuk mendukung pemulihan ekonomi. Kesinambungan kebijakan menjadi kunci untuk menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Indikator Kunci: Rupiah dan Suku Bunga
Nilai tukar Rupiah dan kebijakan suku bunga menjadi indikator krusial bagi pasar obligasi. Tren pelemahan indeks Dolar AS karena ekspektasi penurunan suku bunga global memberi ruang stabilitas bagi Rupiah, terlebih setelah lewatnya periode musiman pembayaran dividen dan kebutuhan valuta asing untuk musim haji. MAMI memperkirakan Rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.200–Rp16.900 per dolar AS hingga akhir tahun.
Suku bunga acuan Bank Indonesia diperkirakan dapat turun hingga 5,25%, didukung inflasi yang terjaga dan urgensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Penurunan rasio giro wajib minimum (GWM) oleh BI sebesar 100 basis poin (bps) juga berpotensi menambah likuiditas pasar hingga Rp90 triliun. Likuiditas tambahan juga akan datang dari jatuh temponya Surat Berharga Negara (SBN) dalam jumlah besar pada kuartal ketiga dan keempat tahun ini.
Obligasi Durasi Pendek: Pilihan Utama di Tengah Ketidakpastian
Dengan ekspektasi penurunan suku bunga dari The Fed dan BI, obligasi berdurasi pendek dinilai lebih menarik. Penurunan *yield* dari suku bunga akan berdampak positif pada *capital gain* di obligasi tenor pendek, terutama di tengah ketidakpastian pasar jangka pendek. Selain *capital gain*, kupon obligasi juga menjadi sumber imbal hasil yang stabil.
Obligasi pendek menjadi pilihan yang aman dan adaptif terhadap perubahan suku bunga dan volatilitas pasar. Obligasi tenor pendek memberikan kombinasi antara potensi *capital gain* dan kupon yang stabil di tengah dinamika global yang belum pasti. Strategi portofolio *fixed income* yang konservatif namun tetap oportunistik tetap menjadi pilihan utama.
Risiko dan Katalis Pasar Obligasi
Meskipun prospek obligasi domestik cukup menarik, risiko global seperti ketidakpastian imbal hasil US Treasury dan potensi kelanjutan perang dagang AS-China tetap perlu diwaspadai. Dari sisi domestik, efektivitas stimulus pemerintah akan menjadi kunci keberhasilan. Katalis positif datang dari rencana peningkatan penerbitan obligasi global dan stabilitas pasokan obligasi Rupiah. Penurunan penerbitan SBN dan jumlah jatuh tempo SBN yang besar di pasar diharapkan meningkatkan likuiditas di pasar obligasi.
Secara keseluruhan, meskipun terdapat beberapa tantangan, sentimen pasar global menunjukkan perbaikan yang signifikan. Asia, dengan kekuatan domestik dan integrasi dalam rantai pasok teknologi global, tampaknya menjadi destinasi investasi yang menjanjikan. Di Indonesia, meskipun pertumbuhan ekonomi masih menghadapi hambatan, adanya langkah-langkah pemerintah dan stabilitas Rupiah diharapkan dapat mendorong pemulihan ekonomi di semester kedua. Penggunaan strategi investasi yang konservatif namun tetap oportunistik, seperti berinvestasi pada obligasi berdurasi pendek, menjadi kunci dalam menghadapi ketidakpastian pasar saat ini.