Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Atip Latipulhayat, menanggapi kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menghapus pekerjaan rumah (PR) untuk siswa. Ia menyatakan kewenangan pemberian PR seharusnya berada di tangan guru, sebagai bagian integral dari proses pembelajaran. Kebijakan ini memicu perdebatan mengenai peran pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam mengatur sistem pendidikan nasional.
Pemerintah daerah memang memiliki wewenang dalam penyusunan dan pengelolaan sistem pendidikan. Namun, kewenangan tersebut harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di tingkat nasional. Koordinasi yang baik antara pemerintah daerah dan pusat sangat penting untuk memastikan keselarasan kebijakan pendidikan.
Kewenangan Guru dalam Pemberian PR
Atip Latipulhayat menegaskan bahwa keputusan untuk memberikan PR merupakan kewenangan guru. Guru, sebagai pendidik, paling memahami kebutuhan dan kemampuan masing-masing siswa. Oleh karena itu, penentuan pemberian PR harus didasarkan pada kondisi dan karakteristik setiap satuan pendidikan.
Proses pembelajaran di setiap sekolah dapat berbeda. Penilaian terhadap pemahaman siswa juga beragam, sehingga guru dapat menentukan metode yang paling efektif, termasuk pemberian PR. Hal ini mempertimbangkan kemampuan siswa dalam menyerap materi pelajaran.
Peraturan Pemerintah dan Standar Pendidikan Nasional
Pemerintah pusat bertanggung jawab menetapkan standar pendidikan nasional. Hal ini meliputi standar kompetensi lulusan, proses pembelajaran, dan berbagai aspek penting lainnya yang menjamin kualitas pendidikan di seluruh Indonesia.
Standar tersebut harus menjadi acuan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam sistem pendidikan, termasuk pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah daerah, meskipun memiliki otonomi, tidak boleh bertentangan dengan standar dan peraturan yang telah ditetapkan di tingkat nasional.
Dampak Kebijakan Penghapusan PR dan Alternatif Kegiatan Siswa
Gubernur Dedi Mulyadi menerbitkan Surat Edaran nomor 81/PK.03/DISDIK pada 4 Juni 2025, yang menghapus kewajiban PR bagi siswa. Surat edaran tersebut menganjurkan agar waktu setelah sekolah digunakan untuk kegiatan yang lebih bermanfaat dan mengembangkan potensi siswa.
Kegiatan-kegiatan yang disarankan mencakup membantu orang tua di rumah, kegiatan keagamaan, kesenian, olahraga, literasi, dan kewirausahaan. Tujuannya adalah agar siswa dapat mengembangkan keterampilan sosial, kreativitas, dan karakter positif di luar lingkungan sekolah. Alasan penghapusan PR adalah karena banyak PR yang dikerjakan oleh orang tua, bukan siswa itu sendiri.
Alasan di Balik Penghapusan PR
Dedi Mulyadi berpendapat bahwa banyak PR yang dikerjakan oleh orang tua siswa, bukan siswa itu sendiri. Hal ini dinilai kurang efektif dalam meningkatkan pemahaman siswa dan justru membebani orang tua.
Dengan menghapus PR, diharapkan siswa dapat lebih fokus pada pembelajaran di sekolah dan memiliki waktu luang untuk kegiatan yang lebih produktif dan sesuai dengan minat dan bakat mereka. Penggunaan waktu luang secara efektif diharapkan akan menghasilkan siswa yang lebih berkembang secara holistik.
Kesimpulan: Mencari Keseimbangan antara Otonomi Daerah dan Standar Nasional
Perdebatan seputar penghapusan PR ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara otonomi daerah dalam mengelola pendidikan dan penerapan standar nasional yang konsisten. Koordinasi yang erat antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci dalam menciptakan sistem pendidikan yang berkualitas dan relevan bagi seluruh siswa di Indonesia.
Meskipun terdapat perbedaan pandangan mengenai efektivitas PR, penting bagi semua pihak untuk berfokus pada peningkatan kualitas pembelajaran dan pengembangan potensi siswa secara menyeluruh. Pembelajaran yang efektif tidak hanya bergantung pada PR, tetapi juga pada metode pengajaran yang inovatif dan partisipasi aktif siswa. Diskusi dan kolaborasi lebih lanjut antara pemerintah, pendidik, dan orangtua sangat diperlukan untuk mencapai solusi terbaik bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.