Seorang ibu di Bekasi, Jawa Barat, mengungkapkan pengalaman pahitnya melalui Instagram. Anaknya yang belum genap lima tahun tiba-tiba menolak salat, padahal sebelumnya selalu antusias beribadah. Perubahan sikap ini mengejutkan keluarga.
Setelah diusut, terungkap alasan di balik penolakan tersebut. Anaknya menceritakan pengalaman tak menyenangkan saat salat, yang melibatkan anak lain berusia delapan tahun. Pengakuan mengejutkan ini menjadi titik awal terungkapnya kasus pelecehan seksual.
Trauma Ibadah dan Jalan Buntu Hukum
Anak NDP, sang ibu, mengalami trauma usai pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak berinisial Y (8 tahun). Y mengaku telah melakukan pelecehan terhadap empat anak, termasuk anak NDP, sebanyak tiga kali.
Keluarga korban merasa kecewa karena upaya penyelesaian melalui musyawarah dengan RT, RW, dan keamanan setempat tidak membuahkan hasil konkret. Laporan polisi juga menemui jalan buntu karena pelaku masih di bawah umur 12 tahun. Hal ini membuat anak NDP trauma untuk beribadah, sementara pelaku hanya mendapatkan konseling.
Memahami Perilaku Agresif pada Anak Usia 8 Tahun
Psikiater dr. Lahargo Kembaren, SpKJ dari RSJ Marzoeki Mahdi Bogor, menjelaskan perilaku agresif atau kekerasan pada anak sebagai gangguan kompleks di otak.
Dua area otak berperan penting: bagian depan otak yang berfungsi mengontrol diri dan pengambilan keputusan, serta bagian tengah otak yang mengatur emosi. Pada anak bermasalah, area pengontrol diri kurang berfungsi baik, sementara area emosi sangat sensitif.
Kondisi ini membuat anak mudah melakukan tindakan agresif tanpa kendali.
Penyebab Pelecehan Seksual oleh Anak
Beberapa faktor dapat memicu perilaku menyimpang pada anak, termasuk pengalaman traumatis.
Anak yang pernah menjadi korban kekerasan fisik, verbal, atau seksual memiliki risiko tinggi mengulangi perilaku tersebut. Menyaksikan kekerasan di rumah atau lingkungan sekitar juga berdampak serupa.
Paparan konten tidak pantas seperti tontonan atau permainan yang mengandung kekerasan dan konten seksual juga merusak perkembangan otak anak. Media sosial, film, dan gim perlu diawasi ketat.
Faktor lain yang turut berkontribusi meliputi riwayat keluarga dengan masalah perilaku, cedera kepala atau gangguan kesehatan, masalah keluarga (perceraian atau ekonomi sulit), serta pengalaman di-bully atau membully orang lain.
Tanda-Tanda Perilaku Menyimpang yang Perlu Diwaspadai
dr. Lahargo menyebutkan beberapa tanda perilaku anak yang perlu diwaspadai: mudah marah berlebihan, sering berkelahi atau mengancam, merusak barang, menyakiti hewan, bermain api, dan mencoret-coret atau merusak fasilitas umum.
Perilaku-perilaku ini menandakan adanya masalah yang memerlukan penanganan segera. Deteksi dini sangat penting untuk mencegah dampak yang lebih buruk.
Mencegah dan Menangani Perilaku Menyimpang pada Anak
Orangtua dan lingkungan memiliki peran penting dalam mencegah perilaku menyimpang pada anak.
Langkah pencegahan meliputi menciptakan lingkungan aman (menjauhkan anak dari kekerasan, memberikan pendidikan seksual sesuai usia, dan mengawasi ketat tontonan dan permainan anak). Selain itu, perkuat hubungan dengan anak, luangkan waktu berkualitas, dengarkan keluhannya, dan jadilah tempat aman bagi anak untuk berbagi masalah. Jangan abaikan perubahan perilaku atau keluhan ketidaknyamanan anak, dan segera konsultasikan jika ada tanda mencurigakan.
Jika anak menunjukkan perilaku bermasalah, lakukan pemeriksaan menyeluruh oleh psikolog dan psikiater anak. Terapi psikologis, pengobatan medis (jika diperlukan), dan rehabilitasi sosial untuk melatih kemampuan berinteraksi juga dibutuhkan.
Tanggung Jawab Bersama
Pencegahan perilaku menyimpang pada anak adalah tanggung jawab bersama orangtua, sekolah, lingkungan, dan masyarakat.
Deteksi dini merupakan kunci utama perlindungan anak. Jika menemukan tanda-tanda perilaku bermasalah atau dugaan pelecehan, segera konsultasikan dengan psikolog atau psikiater anak. Perlindungan anak adalah tanggung jawab kita bersama.