Bandara Dhoho di Kediri, Jawa Timur, yang mulai beroperasi April 2024, kini terkesan sunyi. Sejak pertengahan Mei 2025, tidak ada aktivitas penerbangan komersial. Padahal, bandara ini diharapkan menjadi alternatif bandara internasional di Jawa Timur bagian selatan. Namun, berbagai tantangan telah menghambat harapan tersebut.
Keheningan di Bandara Dhoho bukan sekadar masalah perawatan pesawat. Penghentian penerbangan Citilink, satu-satunya maskapai yang melayani rute Kediri-Jakarta, memang diakibatkan perawatan armada. Namun, akar permasalahannya jauh lebih dalam.
Rendahnya Minat Penumpang: Faktor Utama Sepinya Bandara Dhoho
Okupansi penumpang yang rendah menjadi penyebab utama sepinya Bandara Dhoho. Citilink hanya melayani dua penerbangan per minggu. Super Air Jet, yang sempat melayani rute Balikpapan, juga telah menghentikan operasinya. Hal ini menunjukkan minimnya minat pasar terhadap bandara tersebut.
Harga tiket yang lebih mahal dibandingkan Bandara Juanda di Surabaya menjadi keluhan warganet di media sosial. Keterbatasan rute penerbangan juga mengurangi daya tarik bagi calon penumpang yang mengedepankan efisiensi waktu dan biaya. Akibatnya, banyak orang tetap memilih Bandara Juanda.
Tantangan Infrastruktur dan Konektivitas
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia, menekankan pentingnya permintaan pasar bagi keberlangsungan operasional maskapai. Bandara Banyuwangi, yang sukses karena ditopang sektor pariwisata yang kuat, menjadi contoh yang kontras. Bandara Dhoho belum didukung oleh sektor pariwisata dan konektivitas yang memadai.
Belum adanya transportasi umum reguler dari kota-kota sekitar menuju bandara juga menjadi kendala. Aksesibilitas yang buruk membuat Bandara Dhoho kalah bersaing dengan Bandara Juanda di Sidoarjo dan Bandara Abdulrachman Saleh di Malang. Calon penumpang enggan menggunakan bandara jika tidak ada akses transportasi yang mudah.
Sinergi Pariwisata dan Infrastruktur: Kunci Sukses Bandara Dhoho
Pemerintah Daerah (Pemda) perlu meningkatkan sinergi antara pembangunan infrastruktur bandara dengan pengembangan sektor pariwisata dan konektivitas. Pengembangan potensi wisata di daerah sekitar, seperti Tulungagung, Trenggalek, dan Blitar, sangat penting untuk menarik minat wisatawan.
Pemda juga harus menyediakan transportasi umum yang memadai menghubungkan bandara dengan kota-kota sekitarnya. Promosi wisata yang gencar juga diperlukan untuk meningkatkan awareness dan minat masyarakat terhadap Bandara Dhoho. Bandara Dhoho memiliki *runway* sepanjang 3.300 meter dan mampu menampung pesawat berbadan besar. Potensi besar ini perlu dimaksimalkan dengan integrasi yang baik antara infrastruktur, pariwisata, dan transportasi.
Tanpa upaya terintegrasi tersebut, Bandara Dhoho berisiko menjadi proyek infrastruktur yang tidak berfungsi optimal, seperti kasus Bandara Kertajati sebelumnya. Oleh karena itu, pengembangan yang komprehensif dan berkelanjutan sangat krusial untuk keberhasilan Bandara Dhoho. Pembelajaran dari kegagalan bandara lain harus menjadi pelajaran berharga untuk mencegah hal serupa terjadi.