Malam 1 Suro, yang jatuh pada Kamis, 26 Juni 2025, menandai awal tahun baru dalam kalender Jawa dan bertepatan dengan 1 Muharram 1447 H. Bagi masyarakat Jawa, momen ini sarat makna dan diiringi berbagai tradisi, kepercayaan, dan pantangan. Salah satu yang paling dikenal adalah larangan keluar rumah di malam sakral ini. Namun, apa sebenarnya alasan di balik kepercayaan tersebut?
Tradisi dan kepercayaan seputar Malam 1 Suro telah turun temurun diwariskan. Malam ini dianggap memiliki aura mistis yang kuat. Banyak yang meyakini adanya aktivitas gaib yang terjadi. Pemahaman mendalam mengenai latar belakangnya penting untuk memahami praktik budaya ini.
Mitos dan Larangan Keluar Rumah di Malam 1 Suro
Menurut Tundjung W. Sutirto, pemerhati budaya Jawa dan dosen di Universitas Sebelas Maret (UNS), larangan keluar rumah pada Malam 1 Suro merupakan bagian dari mitos yang berkembang di masyarakat. Ia menekankan bahwa ini hanya saran, bukan paksaan. Lebih baik menghindari keluar rumah jika tidak ada keperluan mendesak.
Keyakinan akan kekuatan mistis Malam 1 Suro terkait dengan kepercayaan pada pasukan gaib pengikut Nyi Roro Kidul yang konon melakukan perjalanan menuju keraton atau Gunung Merapi. Mitos ini telah berkembang sejak zaman dahulu, imbuh Tundjung. Aura mistis yang dipercaya menyelimuti malam ini menjadi dasar larangan tersebut.
Tradisi Kirab Pusaka: Sebuah Kontras
Uniknya, meski sebagian masyarakat menghindari keluar rumah, tradisi di lingkungan keraton justru sebaliknya. Keraton Yogyakarta dan Surakarta menggelar kirab pusaka pada Malam 1 Suro. Kirab ini merupakan bagian integral dari perjanjian Abiproyo.
Perjanjian Abiproyo adalah kesepakatan antara Panembahan Senopati, pendiri Mataram Islam, dengan Nyi Roro Kidul. Dalam perjanjian tersebut, Nyi Roro Kidul berjanji melindungi Kerajaan Mataram. Kehadiran masyarakat di keraton pada Malam 1 Suro dianggap sebagai bagian dari perlindungan tersebut.
Pantangan Lainnya di Malam 1 Suro dan Perkembangannya
Selain larangan keluar rumah, berbagai pantangan lain juga diyakini oleh masyarakat Jawa. Pernikahan, misalnya, sebaiknya dihindari karena dianggap akan membawa kesialan. Pindah rumah atau membangun rumah baru juga tidak disarankan. Kepercayaan ini menekankan pentingnya menghormati kekuatan mistis malam tersebut.
Tidak berbicara atau membuat kegaduhan, terutama dalam tradisi ritual bisu di sekitar lingkungan keraton, juga merupakan pantangan yang umum. Semua mitos ini, menurut Tundjung, berkembang secara akumulatif dalam sejarah budaya Jawa. Penggabungan kalender Islam dan kalender Saka oleh Sultan Agung pada abad ke-17 semakin memperkaya kepercayaan ini. Mitos-mitos ini terus bertransformasi dan beradaptasi seiring perkembangan zaman.
Malam 1 Suro, dengan berbagai mitos dan tradisinya, mencerminkan kekayaan budaya Jawa. Larangan keluar rumah, meskipun dianggap sebagai mitos, tetap dipegang teguh oleh sebagian masyarakat. Sementara itu, tradisi kirab pusaka di keraton menawarkan perspektif berbeda, menekankan aspek perlindungan dan perjanjian leluhur. Pemahaman yang komprehensif mengenai kedua aspek ini penting untuk menghargai kelangsungan budaya Jawa. Perpaduan kepercayaan mistis dengan tradisi keraton membentuk pemahaman unik tentang Malam 1 Suro yang kompleks dan menarik untuk dikaji lebih lanjut.