Malam 1 Suro, yang jatuh pada Kamis, 26 Juni 2025, merupakan perayaan tahun baru dalam penanggalan Jawa. Perayaan ini berlangsung setelah Maghrib dan bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah, yang ditetapkan sebagai hari libur nasional. Malam sakral ini dirayakan dengan berbagai tradisi, mulai dari kirab budaya hingga ritual ziarah dan siraman. Namun, di balik kemeriahannya, terdapat pula sejumlah mitos dan larangan yang dipercaya oleh masyarakat Jawa.
Malam 1 Suro menyimpan sejarah panjang dan makna mendalam bagi masyarakat Jawa. Perayaan ini bukan sekadar pergantian tahun, melainkan juga momentum refleksi spiritual.
Asal-usul Malam 1 Suro: Perpaduan Tradisi dan Sejarah
Istilah “Suro” sendiri berasal dari kata Arab “Asyura,” yang berarti sepuluh, merujuk pada tanggal 10 Muharram. Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriah, merupakan bulan suci dalam Islam.
Tradisi peringatan Malam 1 Suro dimulai pada tahun 1633 M. Kala itu, Sultan Agung Anyokrokusumo dari Mataram menciptakan Kalender Jawa, yang memadukan sistem penanggalan Islam dengan tradisi lokal.
Tujuan Sultan Agung adalah untuk menyatukan rakyat dan kerajaan, terutama saat Mataram menghadapi berbagai tantangan. Kalender Jawa, dengan 1 Suro sebagai tahun baru, menjadi simbol persatuan dan identitas.
Malam 1 Suro pun menjadi momen spiritual yang diyakini sebagai waktu untuk mawas diri, meningkatkan kewaspadaan (“eling lan waspodo”), dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Upacara 1 Suro menggantikan upacara kerajaan Rajawedha sebelumnya, merangkul praktik spiritual kaum petani (Gramawedha).
Mitos dan Larangan di Malam 1 Suro: Antara Tradisi dan Kepercayaan
Berbagai mitos dan larangan berkembang seiring waktu dalam konteks perayaan Malam 1 Suro. Beberapa di antaranya diyakini sebagai upaya untuk menjaga kesucian dan kesakralan malam tersebut.
Larangan Keluar Rumah Bagi Weton Tertentu
Ada kepercayaan bahwa individu dengan weton tertentu sebaiknya menghindari keluar rumah pada Malam 1 Suro. Hal ini berkaitan dengan keyakinan akan adanya okultis yang mencari tumbal untuk kepentingan tertentu.
Tradisi Ritual Bisu dan Menghindari Kebisingan
Di beberapa wilayah, terutama sekitar Keraton Yogyakarta, terdapat tradisi ritual bisu. Peserta dilarang berbicara, makan, minum, atau merokok selama ritual berlangsung. Keheningan total menjadi bentuk refleksi spiritual.
Larangan Pernikahan dan Pindah Rumah
Melakukan pernikahan atau pindah rumah di Malam 1 Suro dianggap membawa sial. Kepercayaan ini, meski tidak berlandaskan ajaran Islam, tetap melekat sebagai bagian dari tradisi. Membangun rumah baru juga dihindari karena diyakini mendatangkan kesialan.
Perkembangan Mitos Malam 1 Suro: Perspektif Seorang Budayawan
Budayawan Tundjung W. Sutirto menjelaskan bahwa mitos-mitos Malam 1 Suro terbentuk secara bertahap dan akumulatif. Pensakralan perpaduan kalender Islam dan Jawa menjadi cikal bakal kepercayaan tersebut.
Mitos-mitos tersebut, menurut Tundjung, bukan peristiwa tunggal, melainkan proses yang berkembang sesuai konteks zaman. Tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta, misalnya, baru dimulai pada tahun 1974.
Esensi dari mitos-mitos Malam 1 Suro, menurut Tundjung, adalah pembentukan sikap mawas diri dan refleksi spiritual. Pantangan-pantangan yang ada merupakan tuntunan untuk meningkatkan kesadaran diri dan menghargai nilai-nilai luhur tradisi Jawa. Malam 1 Suro bukan sekadar perayaan, tetapi juga momentum untuk merenungi perjalanan hidup dan memperkuat spiritualitas.