Tim Taman Safari Indonesia (TSI) membuat penemuan penting di awal tahun 2023. Saat menjalankan program pelepasliaran elang Jawa di kawasan konservasi pegunungan Jawa Barat, tim secara tak sengaja menemukan kodok merah (Leptophryne cruentata), amfibi yang juga dikenal sebagai *bleeding toad*. Penemuan ini menjadi bukti pentingnya pengawasan lingkungan dalam program konservasi.
Protokol konservasi yang ketat mengharuskan tim TSI untuk selalu mengecek kualitas lingkungan sebelum melepaskan satwa. Pemantauan inilah yang kemudian mengungkap keberadaan kodok merah yang tersembunyi. Lokasi penemuannya sengaja dirahasiakan untuk melindungi habitat dan mencegah eksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Penemuan Spesies Langka dan Upaya Konservasi
Animal Asisten Kurator TSI, Arief Mutargan, menjelaskan kronologi penemuan tersebut. Penemuan kodok merah terjadi saat tim melakukan monitoring kelayakan habitat untuk program pelepasliaran elang Jawa.
Penemuan ini segera dilaporkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat. Setelah proses verifikasi, TSI mendapat kepercayaan untuk melakukan konservasi *ex situ* terhadap kodok merah yang terancam punah ini.
TSI telah berhasil mengembangbiakkan kodok merah di bawah pengawasan ketat BKSDA. Dari 16 ekor induk yang diterima, ratusan telur berhasil menetas dan saat ini tujuh ekor telah bertransformasi menjadi kodok dewasa. Program ini merupakan langkah penting dalam upaya pelestarian spesies langka ini.
Populasi Kodok Merah yang Kritis dan Ancamannya
Kodok merah, spesies yang hanya ditemukan di kawasan Gunung Gede Pangrango dan Gunung Halimun Salak, memiliki populasi yang sangat terbatas. Diperkirakan hanya tersisa sekitar 250 ekor di alam liar, sehingga status konservasinya sangat kritis.
Berbagai faktor mengancam kelangsungan hidup kodok merah. Perubahan iklim dan aktivitas wisata yang tidak ramah lingkungan menjadi ancaman utama bagi keberlangsungan hidup amfibi peka ini. Kodok merah sangat sensitif terhadap perubahan kualitas air, karena mereka hidup di mata air pegunungan yang jernih.
Dampak Aktivitas Wisata yang Tidak Ramah Lingkungan
Arief Mutargan menyoroti perilaku pengunjung wisata yang merugikan habitat kodok merah. Penggunaan sabun saat mandi di curug (air terjun) misalnya, dapat merusak kualitas air dan mengancam kehidupan kodok merah.
Pentingnya edukasi dan kesadaran pengunjung wisata untuk menjaga kelestarian lingkungan sangat diperlukan. Dengan menjaga kebersihan dan menghormati habitat alam, kita dapat bersama-sama melindungi kodok merah dan spesies langka lainnya.
Harapan untuk Masa Depan Kodok Merah
Suksesnya program penangkaran di TSI memberikan secercah harapan bagi kelestarian kodok merah. Upaya konservasi *ex situ* ini terbukti efektif dalam meningkatkan populasi dan memberikan peluang bagi spesies langka ini untuk kembali berkembang biak di habitat aslinya.
Kerja sama antara TSI dan BKSDA menjadi contoh kolaborasi yang efektif dalam upaya konservasi satwa langka. Dengan komitmen dan upaya yang berkelanjutan, diharapkan populasi kodok merah dapat meningkat dan terhindar dari kepunahan. Pentingnya edukasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan hidup juga berperan krusial dalam upaya pelestarian ini. Semoga penemuan dan upaya konservasi ini dapat menginspirasi upaya serupa untuk melindungi keanekaragaman hayati Indonesia.