Penolakan keras terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DKI Jakarta mencuat dari berbagai pihak di industri tembakau. Petani, pengusaha, hingga pekerja di sektor ini menyatakan keberatan terhadap beberapa pasal dalam ranperda tersebut, yang dianggap akan berdampak buruk pada perekonomian mereka dan lapangan kerja.
Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) dan Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (RTMM) SPSI DPD DKI Jakarta menjadi suara terdepan dalam penolakan ini. Mereka menilai, sosialisasi mengenai dampak merokok lebih diutamakan daripada pelarangan total yang berpotensi merugikan banyak pihak.
Pasal Kontroversial Ranperda KTR DKI Jakarta
Pasal 17 Ranperda KTR menjadi sorotan utama. Pasal ini mengatur larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Larangan tersebut juga mencakup pemajangan dan iklan produk tembakau di berbagai tempat, termasuk tempat hiburan. Ini dinilai sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan usaha kecil menengah dan industri terkait.
Dampak Ekonomi dan Lapangan Kerja
Ketua Umum AMTI, I Ketut Budhyman, menekankan bahwa pasal-pasal kontroversial dalam Ranperda KTR kontradiktif dengan visi Jakarta sebagai pusat ekonomi global.
Pelarangan tersebut, menurutnya, akan mengancam keberlangsungan hidup petani tembakau, pedagang tradisional, warung kelontong, peritel modern, perhotelan, kafe, restoran, dan industri kreatif.
Ketua Umum RTMM SPSI DPD DKI Jakarta, Ujang Romli, menambahkan kekhawatiran akan dampak pada pekerja di industri rokok dan tembakau. Ia menilai Ranperda KTR terlalu menekan dan berpotensi memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta per Februari 2025 menunjukkan masih ada 338 ribu warga DKI Jakarta yang menganggur. Kondisi ini semakin memperkuat argumen penolakan Ranperda KTR.
Suara dari Lapangan: Kisah Seorang Pedagang Warung Kelontong
Ine, seorang pemilik warung kelontong di Jakarta Selatan, menjadi contoh nyata dampak Ranperda KTR. Warungnya yang berdekatan dengan sekolah akan terdampak langsung dari larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter.
Meskipun setuju untuk tidak menjual rokok kepada anak-anak, Ine khawatir larangan tersebut akan mematikan usahanya dan mengancam perekonomian keluarganya. Ia berharap pemerintah mempertimbangkan ulang pasal-pasal yang dianggap merugikan pedagang kecil.
Penolakan Ranperda KTR ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara upaya kesehatan masyarakat dan dampak ekonomi terhadap berbagai sektor. Perlu dikaji lebih lanjut formulasi kebijakan yang lebih komprehensif dan berkeadilan, mempertimbangkan aspek kesehatan dan ekonomi secara bersamaan. Suara dari para pelaku industri tembakau perlu didengar dan dipertimbangkan dengan serius oleh pemerintah DKI Jakarta.