Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada tanggal 19 Juni 2025 bertahan di level 7.107, di atas angka psikologis 7.000. Namun, tekanan jual meningkat karena beberapa faktor global. Faktor-faktor tersebut meliputi konflik Iran-Israel, pelemahan nilai tukar rupiah, dan sikap wait and see menjelang keputusan The Fed. Secara teknikal, IHSG menunjukkan pola konsolidasi melemah.
Indikator RSI berada di kisaran 47, menunjukkan tekanan jual. MACD mendekati dead-cross, memperkuat sinyal tersebut. Volume transaksi harian menurun, menandakan minat beli investor jangka pendek yang melemah.
Analisis Teknis dan Level Kritis IHSG
Level support penting IHSG saat ini berada di kisaran 7.000-6.960. Resistance terdekat terletak di area 7.170-7.200.
Hendra Wardhana, Founder Stocknow.id, memprediksi potensi IHSG menembus di bawah 7.000 jika konflik Iran-Israel meluas dan rupiah melemah hingga Rp 16.400. Hal ini dikarenakan meningkatnya ketidakpastian pasar global yang berdampak pada sentimen investor.
Sentimen Positif yang Menopang Pasar Saham Indonesia
Meskipun terdapat tekanan global, beberapa sentimen domestik masih menopang pasar saham. Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan di 5,5%, memberikan sinyal positif bagi stabilitas moneter.
Dana domestik dari investor ritel dan institusi lokal tetap kuat, menjadi penyangga ketika investor asing cenderung wait and see. Musim dividen dari emiten seperti NCKL, CTBN, dan PGAS juga menarik investor yang mencari pendapatan pasif.
Menjelang rilis laporan keuangan semester I pada bulan Juli, potensi aksi window dressing dan rotasi sektor dapat memicu kenaikan harga saham. Kombinasi faktor-faktor ini membantu menjaga pasar tetap aktif meskipun ada tekanan eksternal.
Strategi Investasi di Tengah Volatilitas Pasar
Investor disarankan selektif dalam memilih sektor. Sektor transportasi udara dan logistik rentan terhadap kenaikan harga minyak dan gangguan rantai pasok akibat konflik geopolitik.
Sektor properti mewah dan konstruksi besar juga berisiko karena pelemahan rupiah dan tekanan fiskal. Saham perbankan big cap berpotensi koreksi jangka pendek, terutama karena ekspektasi pelemahan rupiah dan kenaikan yield global.
Saham komoditas dan energi tetap menjadi pilihan utama, seiring kenaikan harga emas, nikel, dan amonia. ANTM (target 3.660), ESSA (trading buy, target 780), dan BRPT (target 1.630) menjadi beberapa saham unggulan. Sektor yang tahan guncangan, seperti energi, komoditas, konsumer, serta telekomunikasi dan tower, disarankan sebagai pilihan investasi.
Strategi Jangka Pendek, Menengah, dan Panjang
Untuk jangka pendek, fokus pada saham komoditas dan defensif yang mengalami koreksi sehat. Manajemen risiko sangat penting, dengan penerapan stop loss ketat dan take profit cepat.
Pada jangka menengah, manfaatkan rilis laporan keuangan semester I untuk mengakumulasi saham unggulan yang telah terkoreksi. Sementara itu, untuk jangka panjang, terapkan strategi dollar-cost averaging pada saham fundamental kuat di sektor energi transisi, telekomunikasi, dan konsumer staples.
Disiplin, adaptif, dan selektif dalam memilih sektor dan timing menjadi kunci keberhasilan investasi dalam kondisi pasar yang volatil. Kehati-hatian dan perencanaan yang matang akan membantu investor meminimalisir risiko dan memaksimalkan potensi keuntungan.