Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan signifikan pada perdagangan Kamis, 19 Juni 2025. IHSG ditutup di zona merah, turun 1,5 persen ke posisi 6.999.
Para analis memprediksi pelemahan IHSG akan berlanjut. Beberapa faktor eksternal dan internal menjadi penyebab utama penurunan ini.
Tensi Geopolitik dan Pelemahan Rupiah Tekan IHSG
Meningkatnya tensi geopolitik antara Amerika Serikat dan konflik Israel-Iran menjadi salah satu faktor utama penurunan IHSG. Ketegangan ini menimbulkan ketidakpastian di pasar global.
Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS juga turut memberikan tekanan pada IHSG. Hal ini menyebabkan keluarnya aliran dana asing dari pasar saham Indonesia.
Reydi Octa, Pengamat Pasar Modal Panin Sekuritas, menyatakan bahwa kombinasi tensi geopolitik yang tinggi dan pelemahan Rupiah menjadi penyebab utama penurunan IHSG. Ia juga menambahkan kembalinya aliran dana asing turut memperparah situasi.
Analisis Teknis Menunjukkan Tren Melemah
Pada Rabu, 18 Juni 2025, IHSG masih berada di atas level psikologis 7.000, ditutup di angka 7.107. Namun, tekanan akibat ketegangan geopolitik, pelemahan Rupiah, dan sentimen global yang hati-hati tetap berlanjut.
Hendra Wardhana, Pengamat Pasar Modal dan Founder Stocknow.id, memberikan analisis teknis. IHSG menunjukkan kecenderungan konsolidasi melemah (sideways to bearish).
Indikator RSI turun ke kisaran 47, sementara MACD mendekati dead-cross. Ini menunjukkan meningkatnya tekanan jual di pasar.
Menurunnya volume transaksi saham juga menunjukkan minat beli jangka pendek yang mulai melemah. Level support kuat berada di 7.000–6.960, sedangkan resistance jangka pendek di 7.170–7.200.
Meskipun demikian, menurut Hendra, masih ada potensi rebound jika IHSG mampu bertahan di atas level support dan didukung oleh akumulasi di sektor tertentu.
Strategi Investasi di Tengah Ketidakpastian
Meskipun terdapat sejumlah sentimen negatif, beberapa faktor positif tetap menopang pasar. Keputusan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan di 5,5% memberikan sinyal positif bagi stabilitas moneter.
Arus dana domestik yang solid, terutama dari investor ritel dan institusi lokal, menjadi penyangga di tengah sikap wait and see investor asing.
Musim pembagian dividen dari emiten seperti NCKL, CTBN, dan PGAS juga menarik bagi investor yang mencari pendapatan tetap (income-seeking).
Laporan keuangan semester I yang akan dirilis pada Juli mendatang berpotensi mendorong window dressing dan rotasi sektor. Namun, investor tetap perlu bersikap selektif.
Hendra menyarankan untuk menghindari sektor transportasi udara dan logistik, karena rentan terhadap lonjakan harga minyak dan gangguan rantai pasok akibat geopolitik.
Sektor properti mewah dan konstruksi besar juga sensitif terhadap pelemahan Rupiah dan tekanan fiskal. Saham big cap perbankan juga berpotensi mengalami tekanan sementara.
Sebaliknya, sektor energi dan komoditas seperti ANTM, ESSA, dan BRPT tetap berpotensial, didorong oleh ekspektasi kenaikan harga emas, nikel, dan amonia.
Saham defensif di sektor konsumer (ICBP, MYOR, SIDO), serta telko dan tower (TLKM, TOWR) juga menarik untuk diakumulasi karena cenderung stabil.
Saham-saham yang membagikan dividen besar, seperti CTBN dan NCKL, juga dapat menjadi penyeimbang risiko dalam portofolio.
Penting untuk diingat bahwa setiap keputusan investasi merupakan tanggung jawab individu. Lakukan riset dan analisis yang menyeluruh sebelum melakukan transaksi jual beli saham.
Secara keseluruhan, IHSG saat ini menghadapi tantangan yang kompleks. Meskipun ada potensi rebound, investor perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pasar dan membuat keputusan investasi yang bijak dan terukur. Perkembangan situasi geopolitik dan nilai tukar Rupiah akan menjadi penentu utama arah IHSG dalam beberapa waktu ke depan.