Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan signifikan pada perdagangan Kamis, 19 Juni 2025. Penurunan ini mencapai 1,96 persen, menutup perdagangan di angka 6.968,63. Kondisi ini diikuti oleh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang menembus angka 16.400.
Koreksi IHSG merata di seluruh sektor saham. Indeks LQ45 juga ikut tertekan, mengalami penurunan 2,26 persen ke posisi 774,81. Perdagangan hari itu menunjukkan volume yang tinggi, mencapai 24,9 miliar saham dengan nilai transaksi Rp 14 triliun.
IHSG Anjlok: Analisis Teknis dan Faktor Penyebab
Secara teknis, analis Senior Investment Informasi Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta, menilai IHSG berada dalam fase bearish consolidation.
Penurunan IHSG ini juga dipengaruhi oleh keputusan The Federal Reserve (The Fed) yang menurunkan proyeksi penurunan suku bunga acuan. Keputusan ini didorong oleh prediksi inflasi yang tetap tinggi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi AS.
The Fed mempertahankan Fed Rate di level 4,5 persen. Bank Indonesia (BI) juga turut memperhatikan ketidakpastian global dan fokus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
BI mempertahankan BI Rate di angka 5,5 persen. Analis PT MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana, menilai koreksi IHSG sejalan dengan koreksi bursa global dan Asia.
Kekhawatiran investor terhadap memanasnya kondisi geopolitik di Timur Tengah dan keputusan The Fed menjadi faktor penyebab utama penurunan IHSG.
Pergerakan Saham: Top Gainers dan Losers
Meskipun IHSG terkoreksi, beberapa saham justru mengalami peningkatan. Saham KAEF misalnya, melonjak 3,03 persen ke Rp 680 per saham.
Saham KRYA juga menguat 3,06 persen ke posisi Rp 101 per saham, dan saham SSIA naik 1,36 persen ke Rp 1.495 per saham.
Di sisi lain, sejumlah saham masuk kategori top losers. Saham MTFN mengalami penurunan paling signifikan, yaitu 25 persen.
Saham BTEK merosot 16,67 persen, disusul OBAT (15 persen), CBUT (14,97 persen), dan MBSS (14,89 persen).
Saham Teraktif Berdasarkan Nilai dan Frekuensi
Saham BBRI menjadi yang paling aktif berdasarkan nilai transaksi, mencapai Rp 1,4 triliun.
ANTM berada di posisi kedua dengan nilai Rp 782,4 miliar, diikuti BBCA (Rp 695,3 miliar), BMRI (Rp 569,1 miliar), dan BRMS (Rp 434,5 miliar).
Dari sisi frekuensi, saham BBRI juga memimpin dengan 74.037 kali transaksi.
Selanjutnya BBCA (45.234 kali), ANTM (42.319 kali), BRMS (34.031 kali), dan LABA (33.980 kali).
Dampak Global: Bursa Saham Asia Pasifik
Penurunan IHSG juga dipengaruhi oleh pergerakan bursa saham Asia Pasifik. Indeks Hang Seng di Hong Kong mengalami penurunan lebih dari 2 persen.
Keputusan The Fed dan konflik Iran-Israel turut menekan sentimen investor. Indeks CSI 300 di China turun 0,82 persen.
Indeks Nikkei 225 di Jepang merosot 1,02 persen, sementara indeks Kospi di Korea Selatan justru naik 0,19 persen.
Indeks ASX 200 di Australia ditutup relatif stabil. Situasi geopolitik global, terutama potensi intervensi militer AS terhadap Iran, mempengaruhi sentimen pasar.
Keputusan The Fed untuk mempertahankan suku bunga acuan juga memberikan dampak pada pergerakan IHSG dan pasar saham global.
Penutupan pasar saham AS juga menunjukkan kinerja yang beragam, dengan Dow Jones turun sedikit, S&P 500 melemah tipis, dan Nasdaq Composite naik sedikit.
Secara keseluruhan, penurunan IHSG pada 19 Juni 2025 merupakan cerminan dari kompleksitas faktor global dan domestik yang mempengaruhi pasar saham. Kondisi ini menuntut kewaspadaan dan analisis mendalam bagi investor.