Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, divonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan. Vonis ini dijatuhkan dalam kasus korupsi yang melibatkan gratifikasi dan suap senilai lebih dari Rp 1 triliun. Ketua Majelis Hakim, Rosihan Juhriah Rangkuti, membacakan putusan dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca, menggambarkan betapa besarnya dampak kejahatan Zarof terhadap integritas peradilan Indonesia.
Hakim menyatakan tindakan Zarof telah merusak citra MA dan menggoyahkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Putusan tersebut juga meliputi perampasan seluruh aset hasil kejahatan untuk negara. Meskipun hakim mempertimbangkan usia Zarof (63 tahun), riwayat bersihnya, penyesalannya, dan tanggungan keluarga sebagai faktor meringankan, hukuman yang dijatuhkan tetap berat mengingat besarnya kerugian negara.
Harta Kekayaan dan Asal-Usulnya yang Tak Jelas
Majelis hakim menyatakan ketidakmampuan Zarof membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang melimpah. Hal ini menjadi bukti kuat keterlibatannya dalam tindak pidana korupsi. Selain hukuman penjara dan denda, seluruh aset hasil kejahatan, termasuk uang tunai dan emas batangan, dirampas untuk negara. Langkah ini menegaskan komitmen penegak hukum dalam mengembalikan kerugian negara dan memberikan efek jera.
Kronologi Kasus Gratifikasi: Dari Akses Strategis hingga Penangkapan
Zarof, yang menjabat berbagai posisi penting di MA sejak 2006 hingga pensiun Januari 2022, memiliki akses luas ke jaringan hakim. Ia memanfaatkan posisi strategisnya sebagai Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana dan Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan, dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA untuk mengatur sejumlah perkara demi keuntungan pribadi. Gratifikasi besar yang diterimanya menjadi bukti nyata penyalahgunaan wewenang.
Kasus pembunuhan Gregorius Ronald Tannur menjadi titik awal terungkapnya skandal ini. Putusan bebas Ronald oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan proses kasasi yang diajukan keluarga korban membuka tabir suap yang melibatkan Zarof sebagai perantara. Diduga, Zarof menerima sekitar Rp 5 miliar dari pengacara Ronald, Lisa Rachmat.
Penggeledahan rumah Zarof di Senayan pada Oktober 2024 menghasilkan temuan mengejutkan: Rp 915 miliar uang tunai dalam berbagai mata uang asing dan 51 kilogram emas batangan senilai sekitar Rp 99 miliar. Temuan ini semakin menguatkan dugaan gratifikasi besar-besaran selama masa jabatan Zarof di MA, terutama dalam pengurusan perkara kasasi.
Zarof ditangkap di Bali pada 24 Oktober 2024 dan ditetapkan sebagai tersangka. Jaksa menuntutnya dengan hukuman 20 tahun penjara dan perampasan seluruh aset. Lisa Rachmat dan Meirizka (ibu terdakwa Ronald) juga turut terseret dalam kasus ini, masing-masing dituntut 14 tahun dan 4 tahun penjara.
Pleidoi dan Permintaan Maaf; Harapan Pemulihan Kepercayaan
Dalam sidang pembelaan pada 10 Juni 2025, Zarof meminta maaf kepada MA, Kejaksaan Agung, dan masyarakat Indonesia. Ia mengakui kesalahannya dan dampaknya terhadap reputasi MA. Meskipun mengaku mendapat perlakuan khusus selama ditahan, ia menyatakan kooperatif selama proses hukum.
Perampasan aset Zarof yang nilainya lebih dari Rp 1 triliun menjadi penegasan keadilan dan efek jera. Kasus ini menjadi pembelajaran penting tentang pengawasan ketat terhadap pejabat lembaga peradilan untuk mencegah praktik “makelar kasus” serupa. Semoga kasus ini dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap integritas dan independensi peradilan di Indonesia. Langkah tegas ini diharapkan bisa menjadi peringatan bagi siapa pun yang mencoba menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.