Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto telah meluncurkan inisiatif untuk menyusun ulang sejarah nasional. Langkah ini, bagaimanapun, telah menuai kontroversi. Keputusan Kementerian Kebudayaan untuk hanya memasukkan dua dari dua belas pelanggaran HAM berat yang diakui negara sebelumnya ke dalam proyek ini telah menimbulkan kritik tajam dari berbagai kalangan.
Kontroversi ini memicu perdebatan publik yang luas mengenai bagaimana sejarah Indonesia seharusnya ditulis dan diinterpretasikan, khususnya mengenai peristiwa-peristiwa kelam di masa lalu. Menyoroti pentingnya akurasi dan keseimbangan dalam penulisan sejarah, debat ini berfokus pada peran sejarah dalam membentuk identitas nasional dan pembelajaran dari kesalahan masa lalu.
Revisi Sejarah Nasional: Fokus pada Narasi Bangsa
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menjelaskan bahwa proyek penulisan ulang sejarah ini bertujuan untuk menyajikan narasi besar perjalanan bangsa Indonesia secara komprehensif. Proyek ini mencakup berbagai aspek, dari prasejarah hingga era modern, bukan hanya berfokus pada pelanggaran HAM.
Fadli Zon menekankan bahwa proyek ini bertujuan untuk menyusun narasi yang lebih membangun dan positif. Ia menambahkan bahwa buku-buku sejarah yang telah ada sebelumnya tetap dapat menjadi rujukan publik. Pendekatan ini, menurutnya, bertujuan untuk memperkuat identitas nasional dan membuat sejarah lebih relevan bagi generasi muda.
Kritik terhadap Selektivitas Kasus Pelanggaran HAM
Sejumlah sejarawan dan kalangan masyarakat mengkritik keputusan Kementerian Kebudayaan untuk hanya memasukkan dua kasus pelanggaran HAM dari daftar 12 kasus yang diakui oleh pemerintah sebelumnya pada tahun 2023.
Peristiwa-peristiwa penting seperti Tragedi 1965, penculikan aktivis menjelang runtuhnya Orde Baru, dan Kerusuhan Mei 1998, tidak termasuk dalam rancangan awal penulisan sejarah baru ini. Ketidakhadiran peristiwa-peristiwa ini dalam narasi baru menimbulkan kekhawatiran akan adanya penyensoran atau pemutihan sejarah.
Tanggapan Menteri HAM dan Perspektif Historiografi
Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, memberikan tanggapannya terkait proyek penulisan ulang sejarah ini. Ia mendukung upaya penyusunan narasi yang positif, namun menekankan pentingnya kejujuran dan penyampaian fakta sejarah yang akurat.
Pigai menjelaskan bahwa pendekatan positif tidak berarti menutupi atau memanipulasi fakta sejarah. Ia menyoroti bahwa setiap periode sejarah memiliki sisi baik dan buruk, dan penting untuk menyajikan semuanya secara seimbang dan jujur. Historiografi, menurutnya, mengharuskan penyajian berbagai perspektif untuk memberikan gambaran yang komprehensif.
- Pigai menegaskan pentingnya integritas dalam penulisan sejarah. Menyembunyikan fakta atau memanipulasi sejarah justru akan menciptakan narasi yang negatif dan tidak kredibel.
- Ia menekankan bahwa sejarah memiliki berbagai perspektif, dan penting untuk menyajikan semua sisi peristiwa dengan jujur dan terbuka. Hal ini penting untuk pembelajaran yang bermakna bagi generasi mendatang.
Daftar 12 pelanggaran HAM berat yang diakui pemerintah pada tahun 2023, namun sebagian besar tidak dimasukkan dalam proyek penulisan ulang sejarah ini meliputi: Tragedi 1965–1966, Penembakan Misterius (1982–1985), Insiden Talangsari (1989), Kasus Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh (1998–1999), Penghilangan paksa aktivis (1997–1998), Tragedi Trisakti dan Semanggi I & II (1998–1999), Kerusuhan Mei 1998, Simpang KKA, Aceh (1999), Wasior, Papua (2001), Wamena, Papua (2003), Jambo Keupok, Aceh (2003), dan Peristiwa pasca-referendum Timor Timur (1999).
Proyek penulisan ulang sejarah nasional ini masih menimbulkan perdebatan yang kompleks. Meskipun pemerintah menekankan pentingnya narasi yang membangun, kritik mengenai selektivitas dan potensi penyensoran peristiwa-peristiwa penting tetap menjadi sorotan utama. Ke depan, transparansi dan keterlibatan sejarawan independen menjadi sangat krusial untuk memastikan bahwa sejarah nasional Indonesia ditulis dengan akurat, komprehensif, dan mencerminkan pengalaman seluruh rakyat Indonesia.