Fenomena “manusia tikus” di kalangan Gen Z China tengah menjadi sorotan. Istilah ini menggambarkan respon generasi muda terhadap tekanan kerja yang ekstrem dan budaya *burnout* yang merajalela. Mereka memilih untuk menarik diri, menghabiskan waktu di kamar, dan beristirahat sebagai bentuk perlawanan terhadap kelelahan mental dan emosional.
Kondisi *burnout* sendiri merupakan kelelahan fisik, emosional, dan mental yang diakibatkan oleh stres kronis di tempat kerja atau kehidupan. Dampaknya dapat sangat luas, mulai dari penurunan produktivitas hingga masalah kesehatan mental yang serius. Memahami cara mengatasi *burnout* sangatlah krusial bagi setiap individu, termasuk generasi muda yang menghadapi tantangan pekerjaan dan tekanan sosial yang semakin tinggi.
Memahami “Manusia Tikus” dan Mekanisme Mengatasi Burnout
“Manusia tikus” sebagai bentuk protes terhadap *burnout* menunjukkan betapa pentingnya keseimbangan hidup. Mereka memilih untuk menarik diri dari tekanan lingkungan kerja yang menekan. Strategi *coping* atau mekanisme penanggulangan menjadi kunci untuk menghadapi kondisi ini. Psikolog klinis dewasa, Adelia Octavia Siswoyo, M.Psi., menekankan pentingnya mengenali mekanisme *coping* yang paling efektif bagi setiap individu. Tidak ada satu cara pun yang berlaku untuk semua orang.
Setiap individu perlu memahami apa yang dapat meningkatkan kesejahteraan mental mereka. Mengenali hal tersebut membantu seseorang untuk bangkit dari *burnout* dengan cara yang sehat dan berkelanjutan. Cara efektif untuk mengatasi kondisi ini memerlukan pemahaman akan diri sendiri dan bagaimana cara mengelola tekanan secara bijak.
Strategi Coping: Problem-Focused dan Emotion-Focused
Ada dua pendekatan utama dalam strategi *coping* untuk mengatasi *burnout*: *problem-focused coping* dan *emotion-focused coping*. Kedua pendekatan ini berbeda dalam cara mereka menangani situasi yang menyebabkan stres.
Problem-Focused Coping
Pendekatan ini berfokus pada pemecahan masalah yang menjadi akar penyebab *burnout*. Seseorang yang menggunakan strategi ini akan berupaya menyelesaikan pekerjaan atau tugas yang menjadi sumber stres. Setelah menyelesaikan tugas-tugas tersebut, mereka dapat beristirahat dan melakukan aktivitas yang mereka nikmati untuk memulihkan energi. Ini merupakan pendekatan yang proaktif dan bertujuan untuk menghilangkan sumber stres secara langsung.
Emotion-Focused Coping
Berbeda dengan *problem-focused coping*, pendekatan ini lebih berfokus pada pengelolaan emosi dan perasaan negatif yang ditimbulkan oleh stres. Seseorang yang menggunakan strategi ini akan memprioritaskan pengolahan emosi mereka terlebih dahulu, misalnya dengan bermeditasi, berolahraga, atau menghabiskan waktu dengan orang-orang terkasih. Setelah emosi mereka mereda, mereka baru akan kembali menghadapi tugas-tugas yang memicu stres. Ini merupakan pendekatan yang reaktif, tetapi penting untuk menstabilkan kondisi emosional sebelum mengatasi masalah yang mendasarinya.
Mencari Keseimbangan: Jalan Keluar dari “Manusia Tikus”
Baik *problem-focused* maupun *emotion-focused coping* memiliki perannya masing-masing. Yang terpenting adalah menemukan keseimbangan dan strategi yang paling sesuai dengan kepribadian dan situasi individu. Dengan memahami kebutuhan diri dan menemukan cara mengelola tekanan dengan sehat, seseorang dapat lebih siap menghadapi tantangan pekerjaan tanpa harus menarik diri sepenuhnya dan menjadi “manusia tikus”. Mempelajari dan menerapkan strategi *coping* yang tepat membantu individu membangun resiliensi dan menciptakan kehidupan yang lebih seimbang dan berkelanjutan.
Menjadi “manusia tikus” mungkin merupakan ekspresi dari kejenuhan dan ketidakberdayaan. Namun, dengan memahami mekanisme *coping* dan mencari dukungan yang tepat, individu dapat keluar dari situasi tersebut dan membangun ketahanan diri untuk menghadapi tantangan di masa depan. Penting untuk diingat bahwa meminta bantuan profesional juga merupakan strategi *coping* yang valid dan efektif.