Balai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau menghadapi ancaman serius. Kepala balai menerima ancaman pembunuhan, dan kantor mereka diserang. Ini terjadi setelah TNTN mengeluarkan edaran yang melarang penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) di dalam kawasan konservasi.
Penolakan atas kebijakan ini menyebabkan konflik dengan warga sekitar. Petugas keamanan menghadapi perlawanan dan intimidasi saat berupaya menertibkan aktivitas ilegal di dalam kawasan TNTN.
Ancaman dan Penyerangan terhadap Balai TNTN
Pihak Balai TNTN menegaskan komitmen mereka untuk melindungi Taman Nasional Tesso Nilo dari perambahan. Mereka telah menyebarkan informasi mengenai ancaman pembunuhan yang diterima kepala balai melalui unggahan di media sosial.
Operasi penertiban dan sosialisasi kepada masyarakat terus dilakukan bersama aparat gabungan. Namun, upaya ini kerap dihadang oleh warga yang menolak kebijakan tersebut.
Kantor SPTN I di Lubuk Kembang Bunga menjadi sasaran serangan dan perusakan. Aksi ini dipicu oleh edaran TNTN yang melarang penerbitan SKT di dalam kawasan konservasi.
Konflik dengan Masyarakat dan Aktivitas Ilegal
Sosialisasi di lapangan seringkali dihadang dan bahkan dilawan oleh warga. Banyak masyarakat yang menolak kehadiran petugas dan kebijakan konservasi.
Penolakan datang dari berbagai kalangan, bahkan ibu-ibu turut turun ke jalan untuk menyuarakan protes. Petugas kerap mengalami intimidasi dan kekerasan fisik saat bertugas.
Meskipun menghadapi tantangan besar, Balai TNTN tetap teguh pada komitmennya. Mereka berkeyakinan bahwa pelestarian Tesso Nilo adalah sebuah amanah yang harus dijalankan.
Upaya Pemerintah dalam Pelestarian Tesso Nilo
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyatakan tidak akan mentolerir aktivitas ilegal di TNTN. Tindakan tegas akan terus dilakukan untuk melindungi dan mengelola taman nasional tersebut.
Tesso Nilo, yang ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 2004, memiliki luas 81.793 hektare. Kawasan ini kaya akan keanekaragaman hayati dan merupakan habitat penting bagi spesies langka di Sumatra.
Namun, hanya sekitar 24 persen atau 19 ribu hektare yang masih berupa hutan. Sisanya telah berubah menjadi areal terbuka, didominasi pemukiman dan kebun sawit ilegal.
Kondisi ini melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Jo. UU Nomor 32 Tahun 2024. Untuk mengatasi masalah ini, Kemenhut melakukan penindakan terhadap pelaku ilegal logging dan perambahan.
Penindakan meliputi penangkapan pelaku, perobohan pondok liar, penyitaan alat berat, dan pemusnahan kebun sawit ilegal. Tim Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo juga telah dibentuk.
Pemerintah membentuk Satgas PKH berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. Tim ini diketuai oleh Menteri Pertahanan dengan Ketua Pelaksana Jaksa Agung Muda Pidana Khusus.
Satgas PKH bertugas menindak dan menata ulang pemanfaatan kawasan hutan. Tugas mereka termasuk penagihan denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan, dan pemulihan aset negara.
Kejaksaan Agung tengah mendalami dugaan pelanggaran terkait sertifikat hak milik tanah di TNTN. Penertiban terhadap aktivitas ilegal seperti pembangunan rumah dan kebun sawit juga telah dilakukan.
Upaya pemulihan ekosistem terus dilakukan. Hingga tahun 2021, telah dilakukan pemulihan ekosistem seluas 3.585 hektare. Ini termasuk rehabilitasi hutan, DAS, dan kegiatan restorasi oleh Balai TNTN.
Konflik di Tesso Nilo menyoroti tantangan besar dalam pelestarian alam di Indonesia. Perlu adanya pendekatan yang komprehensif, melibatkan masyarakat dan penegak hukum, untuk memastikan keberlangsungan ekosistem dan habitat satwa langka di kawasan tersebut. Suksesnya pelestarian TNTN memerlukan kolaborasi yang kuat dan pemahaman menyeluruh akan pentingnya konservasi lingkungan.