Penyanyi kenamaan Agnez Mo menjadi sorotan setelah menjadi kasus pertama yang dijerat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM mengungkapkan hal ini dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi III DPR RI pada Jumat, 20 Juni 2025. Kejadian ini menyoroti implementasi UU Hak Cipta dan memicu perdebatan mengenai tanggung jawab pembayaran royalti.
Kasus Agnez Mo menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas UU Hak Cipta yang telah berlaku selama lebih dari sepuluh tahun. Direktur Jenderal HKI, Razilu, menekankan bahwa sebelum kasus ini, belum pernah ada laporan kasus serupa. Hal ini dianggapnya sebagai indikasi implementasi UU yang baik dan sistem hukum yang jelas terkait pembayaran royalti.
UU Hak Cipta: Implementasi dan Mekanisme Pembayaran Royalti
Razilu menjelaskan, UU Hak Cipta memiliki kerangka hukum dan mekanisme yang jelas, khususnya tentang pembayaran royalti. Aturan ini, menurutnya, telah berjalan efektif selama hampir satu dekade tanpa masalah signifikan sebelum kasus Agnez Mo muncul.
DJKI, lanjut Razilu, memiliki data lengkap pengelolaan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) hingga tahun 2025. Sumber royalti mencakup berbagai penyelenggara kegiatan, mulai dari promotor konser hingga perguruan tinggi dan bahkan perusahaan.
Bahkan penyanyi yang juga menyelenggarakan konser sendiri, tetap wajib membayar royalti. Pembayaran tersebut bukan sebagai penyanyi, melainkan sebagai penyelenggara konser, tegas Razilu.
Polemik Kasus Agnez Mo: Peran Penyanyi vs Penyelenggara Acara
Komisi III DPR RI turut membahas polemik gugatan royalti terhadap Agnez Mo. Ketua Komisi III, Habiburokhman, menyoroti fakta bahwa Agnez Mo hanya berperan sebagai penyanyi, bukan penyelenggara acara. Pembayaran royalti, menurutnya, seharusnya menjadi tanggung jawab penyelenggara acara, bukan artis.
Habiburokhman menambahkan, berdasarkan penjelasan DJKI, mekanisme pembayaran royalti melalui LMK sudah jelas. Pihak yang bertanggung jawab membayar adalah penyelenggara acara atau event organizer, bukan penyanyi atau musisi.
Komisi III DPR RI, merespon kontroversi ini, meminta Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) menyelidiki dugaan pelanggaran etik hakim yang menangani kasus Agnez Mo di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Putusan pengadilan dianggap tidak sesuai dengan ketentuan UU Hak Cipta terkait tanggung jawab pembayaran royalti.
Tuntutan Evaluasi dan Transparansi Sistem Royalti
Kasus Agnez Mo telah memicu desakan evaluasi atas sistem pembayaran royalti dan transparansi pengelolaannya. Komisi III DPR RI berharap Bawas MA segera menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran etik hakim terkait kasus ini.
Permintaan evaluasi ini juga menuntut kejelasan dan penegasan aturan agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman mengenai tanggung jawab pembayaran royalti di masa depan. Transparansi pengelolaan royalti juga menjadi sorotan agar hak cipta para musisi terlindungi dengan baik.
Kejadian ini menjadi momentum penting untuk memperjelas implementasi UU Hak Cipta dan memastikan perlindungan hak cipta bagi para musisi Indonesia. Harapannya, sistem yang lebih transparan dan efektif dapat diimplementasikan untuk menghindari kasus serupa di kemudian hari.